• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Tokoh

KH Yusuf Hasyim, Jenderal Sejati dari Pesantren

KH Yusuf Hasyim, Jenderal Sejati dari Pesantren
KH Yusuf Hasyim atau Pak Ud. (Foto: NOJ/GSs)
KH Yusuf Hasyim atau Pak Ud. (Foto: NOJ/GSs)

Tidak seperti anak kiai kebanyakan yang selalu diawali dengan gus atau juga kiai. Beliau lebih akrab dipanggil Pak Ud, yang mengesankan sebagai tokoh apa adanya. Namun kiprahnya sangat luar biasa. 

 

KH Yusuf Hasyim memang berdarah kiai yang lahir ketika para santri tengah syahdu melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an di Pesantren Tebuireng Jombang. Putra bungsu Kiai M Hasyim Asy’ari – dari tujuh bersaudara ini, tepatnya dilahirkan pada tanggal 3 Agustus 1929 saat suara adzan dikumandangkan.

 

Masa kecilnya lebih dihabiskan untuk memperdalam ilmu keagamaan. Di samping belajar langsung pada ayahandanya, sejak umur 12 tahun sudah melancong ke Pesantren al-Qur’an Sedayu – Gresik yang diasuh Kiai Munawar. Lantas pergi ke Yogyakarta untuk nyantri ke Pondok Pesantren Krapyak di bawah asuhan Kiai Ali Ma’sum. Ia juga pernah belajar di Pondok Modern Gontor Ponorogo.

 

Tentara Tulen

Ketika usianya genap 16 tahun, bergabung ke Laskar Hizbullah Jawa Timur. Itu terjadi pada awal tahun 1945. Maklum karena pada waktu itu perang telah berkecamuk di mana-mana. Saat Resolusi Jihad dikeluarkan para ulama tanggal 22 Oktober 1945 – yang turut mendorong meletusnya peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, Yusuf Hasyim terpilih sebagai Komandan Kompi Laskar Hizbullah Jombang. Itu pula yang membuat tentara Belanda merangsek ke Jombang dan meluluh-lantakkan kota santri.

 

Keadaan waktu itu betul-betul meradang. Pasukan Belanda kemudian bergerak ke arah selatan, untuk mengejar Laskar Hizbullah pimpinan Yusuf Hasyim. Dada kirinya tertembak dalam kontak senjata di Desa Nglaban, Cukir. Untungnya, peluru-peluru itu tidak sampai menembus dadanya. Hanya baju seragam militernya yang terkoyak. Namun demikian, desing peluru itu sempat membuatnya pingsan selama berjam-jam.

 

Ketika Laskar Hisbullah dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia pada tahun 1947, Pak Ud – demikian panggilan karib Yusuf Hasyim – masuk menjadi tentara aktif dan mendapat pangkat letnan satu hingga pensiun. Dalam peristiwa Madiun 1948, Pak Ud menjadi salah satu komandan tempur yang berada di garis depan. Pak Ud bersama pasukannya berhasil menyelamatkan beberapa tokoh penting yang diculik PKI; seperti Kapten Hambali, KH Ahmad Sahal dan Pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo, KH Imam Zarkasyi.

 

Pasca peristiwa berdarah G 30 S PKI, Pak Ud masih terus berjuang. Di samping pernah menjadi Ketua Wilayah Ikatan Bekas Pejuang Islam Indonesia Jawa Timur, juga bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor – sebagai Ketua I Pengurus Besar GP Ansor. 

 

Dirinya juga memulai karirnya di kancah politik praktis. Perjalanan karir sebagai politikus dimulai ketika menjadi wakil Sekretaris Jenderal di Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Berbagai Kiprah

 

Di tahun 1967 itu, Pak Ud menjadi wakil rakyat ketika ada penyegaran keanggotaan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Kebijakan merombak keanggotaan DPRGR ini menyusul terbitnya instruksi Jenderal Soeharto, yang mengemban Supersemar untuk membersihkan parlemen dari anggota yang berasal dari PKI dan simpatisan Orde Lama. Memasuki gerbang DPR, Pak Ud segera terlibat dalam berbagai proses politik yang sangat dinamis di hari-hari menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Karir di DPR terus bertahan hingga tahun 1980-an.

 

Sebagai salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pak Ud turut berperan ketika NU memutuskan serangkaian kebijakan bersejarah tahun 1984; seperti kembalinya ke Khittah NU 1926. Ketika ada perselisihan pendapat tentang posisi NU dalam percaturan politik di Indonesia, KH Yusuf Hasyim-lah yang mengusulkan agar pengertian khittah perlu ditafsir ulang. Terutama pasca kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.

 

Dan tepat pada 30 Desember 2006, Pak Ud terjatuh di kamar rumahnya di Desa Cukir. Setelah itu mengeluh sakit pinggang. Karena kondisinya semakin memburuk, keesokan harinya dibawa ke RSUD Jombang dan dirawat selama tiga hari. Lalu pada tanggal 2 Januari Pak Ud dirujuk ke RSUD Dr Soetomo Surabaya. Setelah dirawat selama 12 hari di sana, pada Ahad, 14 Januari 2007 Pak Ud berpulang ke rahmatullah. Jenazah Pak Ud kemudian dibawa dan dikebumikan di komplek pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng.

 

Sekitar pukul 10.30 WIB, rentetan tembakan salvo mengiringi pemakaman jenazah Pak Ud ke liang lahat. Cucuran air mata dari ribuan penziarah mengiringi jenazahnya yang dimakamkan secara militer. Pak Ud sebenarnya sangat layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Namun keluarga besar Hadratussyekh KH M Hasyim Asy`ari meminta Pak Ud dikebumikan di makam keluarga besar Tebuireng.
Untuk mengenang jasa-jasa perjuangannya, markas besar Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Jakarta menetapkan Pak Ud sebagai pahlawan nasional. Penganugerahan itu dilakukan pada pertengahan Maret 2007, diwujudkan dengan upacara pemberian tonggak bambu runcing di atas pusara Pak Ud – yang berada di belakang komplek Pesantren Tebuireng.

 

Pemancangan miniatur bambu runcing dengan bendera kecil merah-putih di ujungnya, merupakan simbol bahwa Pak Ud adalah pahlawan nasional yang dimakamkan di luar TMP. Pak Ud menyandang banyak bintang penghargaan, antara lain; Bintang Gerilya, Satya Lencana Kesetiaan, Satya Lencana Madya, dan sejumlah bintang penghargaan lain. Karenya sangat tepaty kalau dikatakan bahwa Pak Ud adalah jenderal sejati.


Editor:

Tokoh Terbaru