Oleh: M Ihsan Khoironi *)
Sultan Muhammad Al-Fatih, atau yang biasa dikenal sebagai Mehmed II, ialah sosok penguasa Utsmaniyah yang ketujuh. Ia berkuasa pada tahun 1444-1446 dan 1451-1481. Selain itu, Mehmed II memiliki banyak keberhasilan di masa kepemimpinannya, tetapi yang paling bersejarah adalah keberhasilannya menaklukan Konstantinopel pada tahun 1453. Hal ini membuatnya mendapat julukan ‘Sang Penakluk’ atau Al-Fatih.
Sultan Muhammad Al-Fatih lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, Turki. Ia merupakan putra dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun. Mehmed II mendapatkan pendidikan yang sangat baik dalam berbagai bidang, termasuk ilmu agama, seni, dan ilmu militer.
Ayahnya, Sultan Murad II, menginginkan Mehmed untuk menjadi pemimpin yang kuat dan mempersiapkannya untuk mengambil alih kepemimpinan Utsmaniyah. Maka dari itu Sultan Murad II mengirim Mehmed kecil yang berusia sebelas tahun untuk memerintah di wilayah Amasya, agar mendapat bekal apabila naik tahta kelak.
Sultan Murad juga mengirim guru-guru untuk mendidik putranya. Salah satu ulama yang berpengaruh pada waktu itu ialah Syaikh Muhammad Syamsuddin bin Hamzah yang juga menjadi salah satu gurunya. Sehingga membuat Mehmed terpengaruh pentingnya menaklukkan Konstantinopel.
Konstantinopel, juga dikenal sebagai Byzantium sebelumnya, adalah ibu kota kekaisaran Romawi Timur dan kemudian menjadi pusat kekaisaran Byzantium. Kota ini terletak di semenanjung Balkan dan dikelilingi oleh laut, yaitu Laut Marmara di sebelah selatan dan barat, serta Laut Hitam di sebelah utara.
Pada tahun 330 M, Kaisar Konstantinus I mendirikan kembali kota ini sebagai ibu kota baru Romawi dan dinamai Nova Roma. Namun, segera setelah kematiannya, kota ini berganti nama menjadi Konstantinopolis (Kota Konstantinus) untuk menghormati pendiriannya. Kemudian nama kota ini diubah lagi menjadi Istanbul setelah penaklukan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453.
Di dunia Kristen, kota ini menjadi yang terpenting dalam segi kebudayaan dan kesejahteraan, utamanya pada masa Wangsa Komnenos. Konstantinopel mengalami berbagai upaya menaklukan yang dilakukan oleh banyak pihak. Para pemimpin muslim dari generasi ke generasi berusaha menaklukkan kota tersebut. Pertama kali upaya penaklukkan di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada saat Mehmed kembali naik tahta di usia sembilan belas tahun setelah kematian ayahnya pada tahun 1451, ia memusatkan perhatiannya untuk memperkuat angkatan laut Utsmani untuk persiapan penaklukan Konstantinopel.
Sultan Muhammad Al-Fatih percaya akan prediksi Nabi Muhammad SAW yang disabdakan dalam sebuah hadits yang artinya: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam, pemimpinnya yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan.” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Di tepi selatan Bosphorus bagian Asia, telah berdiri benteng Anadolu Hisan yang dibangun oleh Sultan Bayezid I. Mehmed menindaklanjuti dengan membangun benten Rumeli Hisan yang lebih kokoh di tepi Eropa Bosporus.
Kota Konstantinopel ditaklukkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih sekitar tiga bulan lebih. Pasukan tentara Sultan Muhammad Al-Fatih membutuhkan perbekalan makanan, minuman, obat-obatan dan keperluan lain yang cukup banyak. Oleh karena itu, Sultan Muhammad Al-Fatih memirintahkan untuk mengirim perbekalan tersebut lewat jalur laut menggunakan kapal. Hal ini karena Sultan Muhammad Al-Fatih beranggapan letak kota ini di kelilingi lautan dengan cara tersebut bantuan akan cepat tersampaikan.
Namun sesampainya perbekalan tersebut ternyata seluruh lautan di dekat dermaga dipasangi rantai-rantai yang mengakibatkan kapal-kapal yang membawa perbekalan dan kebutuhan untuk pasukan tentara perang itu tidak bisa sampai di tempat tujuan. Rantai-rantai tersebut membentang di selat Bosphorus dan di sebelah selat tersebut terdapat daratan yang isinya perbukitan, dan di seberang daratan tersebut terdapat laut marmara.
Sultan Muhammad Al-Fatih berpikir keras agar kapal-kapal tersebut bisa sampai ke tempat mereka. Akhirnya Sultan Muhammad Al-Fatih memutuskan untuk membawa kapal-kapal perbekalan melewati berbukitan. Kapal-kapal itu dialasi dengan kayu pohon yang letah dilapisi lemak binatang agar licin. Lalu kapal-kapal tersebut ditarik oleh ribuan pasukan tentara menaiki perbukitan. Sesampainya diatas bukit, kapal-kapal itu dibuat turun dengan sendirinya layaknya mainan perosotan tanpa harus ditarik lagi.
Setelah melewati perbukitan, kapal-kapal bisa tiba di laut Marmara dan bersandar di tepi pantai. Hebatnya, 70 kapal dipindahkan dari selat Bosporus ke laut hanya dalam waktu satu malam. Taktik cerdas tersebut belum pernah terpikirkan oleh pemimpin sebelum Sultan Muhammad Al-Fatih.
Sultan Muhammad Al-Fatih memiliki peran besar dalam perencanaan pembuatan meriam besar, termasuk yang dikenal sebagai "Büyük Top" atau "Dardanelles Gun." Meriam ini juga dikenal sebagai "Great Turkish Bombard" dalam bahasa Inggris. Meriam ini memiliki diameter yang sangat besar, sekitar 76 sentimeter atau 30 inci, dan panjang yang mencapai sekitar 518 sentimeter atau 204 inci. Bobotnya diperkirakan mencapai sekitar 18 ton.
Meriam ini mampu menembus tembok pertahanan kota Konstantinopel. Proyektil yang ditembakkan oleh Büyük Top diketahui mampu melempar batu-batu besar ke jarak yang signifikan. Penggunaan meriam besar seperti Büyük Top memiliki dampak besar dalam pengepungan Konstantinopel. Tembok-tembok kota yang dulu dianggap tak terkalahkan menjadi lebih mudah dihancurkan dengan meriam ini, membuka jalan bagi pasukan Utsmaniyah untuk masuk ke dalam kota.
Büyük Top menjadi salah satu inovasi militer yang menandai perkembangan teknologi meriam pada masa itu dan memiliki peran yang signifikan dalam kesuksesan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II. Penaklukan Konstantinopel oleh Mehmed II menandai akhir Kekaisaran Romawi Timur dan awal Kesultanan Utsmaniyah sebagai kekuatan besar di wilayah tersebut. Strategi militer yang cerdik, termasuk penggunaan artileri, strategi kelautan, dan penaklukan tembok pertahanan, membuat penaklukan ini menjadi salah satu momen yang paling bersejarah dalam sejarah militer dan dunia Islam.
Banyak faktor yang mendasari oarang-orang terinspirasi oleh Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II). Termasuk dari faktor-faktor tersebut melibatkan kombinasi kualitas kepimpinan, kecerdasan stategis dan pencapaian besar dalam sejarah. Ia menunjukkan keberanian dan determinasi yang luar biasa dalam menaklukkan Konstantinopel. Meskipun sempat beberapa kali gagal menaklukkan Konstantinopel tetapi dengan kegigihan dan strategi yang sangat epik, ia akhirnya mampu menaklukkannya. Strategi dan taktiknya membuktikan bahwa kesiapan dan perencanaan yang baik dapat mengatasi tantangan yang sangat besar.
Sultan Muhammad Al-Fatih dikenal sebagai pemimpin yang adil. Dibuktikan dengan setelah ditaklukkannya Konstantinopel, ia memastikan bahwa warga kota, terlepas dari agama atau etnis mereka, dan memberikan mereka hak-hak yang adil dan keamanan. Meskipun dikenal sebagai penakluk militer, ia juga dihargai karena dukungannya terhadap ilmu pengetahuan dan seni. Sehingga ia pun mendirikan perpustakaan dan pusat ilmu pengetahuan serta memberikan dukungan kepada cendekiawan dan para seniman.
Tidak hanya terbatas pada pencapaian militer. Sultan Muhammad Al-Fatih juga melakukan reformasi di berbagai bidang, termasuk administrasi dan ekonomi, menunjukkan visi dan pemikiran jangka panjang dalam membangun dan memajukan kekaisarannya. Setelah mengalami pemberontakan dan pengasingan pada awal masa pemerintahannya, ia bangkit kembali untuk menjadi pemimpin yang sukses dan menaklukan Konstantinopel.
*) M Ihsan Khoironi, mahasantri di Ma’had Aly An-Nur 2 Malang.