• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

3 Istilah Bullying atau Perundungan dalam Al-Qur’an, Islam Melarang

3 Istilah Bullying atau Perundungan dalam Al-Qur’an, Islam Melarang
Ilustrasi kasus bullying atau perundungan. (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi kasus bullying atau perundungan. (Foto: NOJ/ ISt)

Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan aksi bullying atau perundungan di salah satu sekolah elit di Jabodetabek. Bahkan, kasus yang terjadi ini menjadi topik hangat di platform media sosial X, salah satunya karena anak artis diduga terlibat di dalamnya.

 

Tindakan bullying atau perundungan termasuk di lingkungan pendidikan membawa mudharat secara fisik dan mental. Oleh karena itu, tindakan bullying harus segera dihentikan.

 

Bullying ataupun perundungan cukup menyentak alam sadar kita, bukan saja dampak psikologis yang diakibatkan, bahkan hingga menghilangkan nyawa. Berapa banyak korban yang psikologisnya terdampak akibat tindakan bullying. Hal tersebut tentunya dapat merusak masa depan si korban. Pasca menerima tindakan bullying ia akan merasakan trauma dan depresi.

 

Bullying sendiri adalah perilaku agresif yang melibatkan berbagai perilaku, baik berupa kekerasan fisik seperti memukul, menampar, memalak, menendang, dan membuat gerakan kasar lainnya, atau kekerasan verbal seperti menghina, memanggil dengan panggilan buruk, menebar gosip, menuduh, dan sebagainya, maupun psikologis, seperti mengucilkan, menatap sinis, mempermalukan di depan umum, dan sebagainya.

 

Tindakan bullying ini pada umumnya dilakukan oleh sosok orang yang lebih senior, lebih kuat, dan berstatus sosial lebih tinggi daripada korban bullying. Lantas, bagaimana Islam memandang perilaku bullying ini?

 

Dalam Al-Qur’an setidaknya ada 3 istilah yang masuk kategori bullying. Ketiganya bukanlah cerminan dari sifat seorang yang beriman kepada Allah, karenanya ketiga hal tersebut dilarang oleh Allah SWT.

 

Pertama, adalah istihza, artinya adalah mengolok-olok. Disebutkan dalam surah Al-Baqarah:

 

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

 

Artinya, “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (QS Al-Baqarah :14).

 

Kedua, adalah sakhr, yaitu merendahkan dan mengejek. Hal ini pernah disebutkan Al-Quran ketika menyinggung umat Nabi Nuh yang mengejek Nabi Nuh ketika hendak membuat bahtera. Dalam surah Hud ayat 38 disebutkan:

 

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ ۚ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ

 

Artinya, “Mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).” (QS Hud : 38)

 

Ketiga, yaitu talmiz, saling mencela. Disebutkan dalam surah al-Hujurat ayat 11:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

 

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Hujurat: 11).

 

Ketiga jenis tindakan bullying sebagaimana di atas, yaitu mengejek, mengolok-olok, memanggil dengan julukan yang tidak baik, bahkan hingga menyakiti fisik sangat tidak dibolehkan, apalagi bagi kita sebagai orang-orang Islam. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

 

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

 

Artinya: “Seorang [disebut] muslim adalah manakala orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya”. (Hadis riwayat Imam al-Bukhari)

 

Tegas sekali hadis yang disebutkan tadi mengajak kita supaya menjaga ucapan, jangan sampai kata-kata yang kita keluarkan dapat menyakiti orang lain. Naudzubillah kita malah sengaja melakukan tindakan caci maki yang dapat menyakiti orang lain.

 

Kita juga diperintah oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjaga tindakan kita, jangan sampai menyakiti fisik orang lain, bahkan apabila ada yang berbuat salah di sekitar kita, kita seenaknya saja menghakimi orang tersebut. Terlebih hal ini kerap terjadi pada orang yang merasa lebih senior, padahal Nabi SAW menegaskan dalam sabdanya:

 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا

 

Artinya, “Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang yang dituakan di antara kami”. (Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi)

 

Sudah selayaknya kita menghindari tindakan bullying. Hendaknya yang besar menyayangi yang kecil, mengayomi, mengajari kebaikan, dan menegur dengan baik jika melakukan kesalahan.

  

Sebaliknya, sebagai timbal balik, yang kecil pun menghormati yang besar, yang lebih senior, yang patut dihormati dan dijadikan teladan. Tidak mengolok-olok satu sama lain, mencela atau menyebut orang lain dengan sebutan yang jelek. Apabila hal ini sudah menjadi kesadaran di tengah masyarakat kita, niscaya hidup kita akan damai dan tak ada bullying di antara kita.

 

*) Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Keislaman Terbaru