Islam memerintahkan pada setiap muslim untuk senantiasa berzikir agar dekat dengan-Nya. Umumnya warga Indonesia, khususnya Nahdliyin berdzikir menggunakan tasbih yang fisiknya berbentuk bulatan kecil melingkar, jumlah dan bentuknya variatif, misalnya terbuat dari kayu, untaian manik, dan lainnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Azhab ayat 41.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.”
Untuk menghitung jumlah dzikir yang lumrah dibaca usai shalat fardhu, istighotsah, tahlil, ziarah kubur dan sejenisnya, ternyata Islam tidak menetapkan cara tertentu, melainkan diserahkan kepada masing-masing umat Islam. Artinya, cara apapun yang dilakukan, hal terpenting tidak bertentangan dengan agama.
Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i dan Al-Hakim yang menggambarkan bahwa Nabi Muhammad Saw menghitung dzikir menggunakan jarinya. Para Imam ahli hadits pun meriwayatkan sebuah hadits dari Bisrah yang mengatakan:
عليكم بالتسبيح والتهليل والتقديس ولا تغفلن فتنسين التوحيد و اعقدن بالأنامل فانه مسئولات مستنطقات
Artinya: “Hendaklah kalian berdzikir, bertahlil dan bertaqdis (berdzikir dengan menyebut kesucian Allah). Janganlah sampai kalian lalai karena nanti bisa melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari karena kelak jari-jari itu akan ditanya dan akan diminta berbicara.”
Anehnya, di zaman ini masih ada sebagian orang yang membid'ahkan tasbih. Padahal ulama pendahulu menggunakanya sebagai alat untuk berdzikir. Sebagaimana kisah Imam Junaid Al-Baghdadi.
رأى رجل الجنيد رضي الله عنه وفي يده سبحة فقال له: أنت مع شرفك تأخذ في يدك سبحة، فقال: نعم سبب وصلنا إلى ما وصلنا فلا نتركه أبداً
Artinya: “Ada seseorang melihat Imam Junaid al-Baghdadi Ra memegang tasbih di tangannya. Orang itu berkomentar kepada Imam Junaid: “Bukankah anda orang mulia, tapi kenapa anda masih memegang tasbih?" Imam Junaid berkata: “Betul, aku menggunakan ini, karena tasbih inilah yang mengantarkanku pada derajat yang aku capai saat ini, dan tentu aku tidak akan melepaskan tasbih ini dari tanganku selamanya.”
Kisah ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Alan As-Shiddiqi yang memberikan catatan tentang keutamaan memakai gelang tasbih. Dijelaskan, dzikir yang dihitung menggunakan jari jumlahnya sedikit. Sedangkan tasbih, gelang tasbih, tasbih digital, hitungannya banyak.
Jadi, apapun alatnya, baik betdzikir menggunakan tangan, kerikil dan tasbih, hal terpenting adalah konsentrasi dzikir tetap terjaga.
وحاصل ذلك أن استعمالها في اعداد الأذكار الكثيرة التي يلهى الاشتغال بها عن التوجه للذكر أفضل من العقد بالانامل ونحوه، والعقد بالانامل فيما لا يحصل فيه ذلك سيما عقب الصلاة ونحوها أفضل
Artinya: “Simpulannya, yaitu bahwa penggunaan gelang tasbih untuk menghitung dzikir yang banyak dapat melalaikannya karena banyaknya dari konsentrasi dzikir lebih utama daripada menghitungnya dengan jari atau sejenisnya. Penghitungan dzikir dengan jari tangan pada jumlah (terbatas) yang tidak menghasilkan kelalaian terutama dzikir setelah shalat dan sejenisnya lebih utama.” (Ibnu Alan, Al-Fututhat: 1/252)
Berangkat dari penjelasan di atas, kiai NU memaknainya sebagai wakil jiwa yang bergerak tiada henti dan tidak putus asa berputat guna meraih dimensi yang tinggi.
Bila dikaitkan dengan tasbih Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, tasbih gang diberikan kepada muridnya di Tebuireng, Jombang melalui perantara KHR As'ad Syamsul Arifin memberikan isyarat agar Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari mendirikan dan mengembangkan NU, serta menyatukan seluruh potensi ulama.
