Keislaman

Nasihat Imam Ghazali Untuk Para Pemimpin Agar Bersikap Adil

Kamis, 27 Februari 2025 | 13:00 WIB

Nasihat Imam Ghazali Untuk Para Pemimpin Agar Bersikap Adil

Pelantikan kepala daerah serentak 2025. (Foto: NOJ/Portal Indonesia)

Setiap makhluk hidup yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Hal tersebut ada agar berbagai pemikiran tidak tumpang tindih dan beraneka keinginan tidak bersimpang siur yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus tali kasih sayang, pudarnya persatuan dan timbulnya perselisihan.

 

Oleh karena itu, tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin dalam suatu perkumpulan atau dalam suatu wilayah kekuasaan. Karena pemimpin itu adalah manusia pilihan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 59:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu.”

 

Menurut Imam Tabari dalam kitab Jami’ al-Bayan, ayat ini menyuruh untuk taat kepada perintah Allah dan juga Nabi Muhammad, dan seorang muslim juga dianjurkan untuk mentaati pada ulil amri. Imam Tabari mengatakan yang dimaksud term “ulil amri”, ialah pemimpin, kepala negara (pemerintahan). Ketaatan kepada pemimpin berlaku selama tidak disuruh melakukan perbuatan maksiat. 

 

Menjadi pemimpin bukanlah perkara yang mudah, karena harus bisa memimpin suatu perkumpulan baik dalam lingkup kecil maupun besar, lebih-lebih pemimpin suatu daerah atau negara. Maka dari itu dibutuhkan syarat-syarat kepemimpinan dan layaknya seorang pemimpin harus bisa berbuat adil kepada setiap yang dipimpinnya. Lantas apa saja persyaratan tersebut dan bagaimana jika pemimpin itu tidak bisa berbuat adil menurut Islam?

 

Dalam kitab Idzatun Nasyi'in telah dijelaskan, bahwasannya pmimpin itu belum bisa dianggap sebagai pemimpin yang sejati, kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat berikut:

 

وَلَا يَكُونُ الرَّئِيسُ رَئِيسًا حَقًّا ، حَتَّى تَتَوَفَّرَ فِيه شُرُوطُ الرِّئاسَةِ مِنَ العَقلِ ، وَالعِلْمِ ، وَصِحّة الوِجْدانِ ، والمُروْءَةِ ، وَالشَّهَامَةِ، وَطَهَارَةِ السَّريرة، وَحُسنِ السِّيرة ، والكَرَمِ ، وَالْبَدْلِ الجَمِّ ، فِي سَبِيلِ إِحْيَاءِ الأُمَّة ونَشْرِ العلم في رُبُوعِهَا فَمَنْ نَهَجَ هَذَا المنهجَ وَقَامَ بِهَذِهِ الْأَعْبَاءِ ، كَانَ عَيْنًا مِنَ الْأَعيَانِ ، وَرَئِيسًا مِنَ الرُّؤسَاءِ ، وَزَعِيمًا مِنَ الزُّعَماءِ ، وَإِلَّا فَهُوَ عَلَى الوَجَاهَةِ والرِّئاسة وَالزَّعَامَةِ وَالشَّرَفِ طُفَيْلِيٌّ دَخِيلٌ

 

Artinya: "Pemimpin itu belum bisa dianggap sebagai pemimpin yang sejati, kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa mengendalikan diri. perkasa, bersih atau tulus hatinya, baik perilakunya, dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan demi kesejahteraan umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat tinggal umat. Barangsiapa yang jejak perjalanannya seperti itu dan sanggup memikul tanggung jawab berat sebagaimana tersebut, maka dia baru bisa disebut sebagai tokoh dan pemimpin sejati. Jika ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi pemimpin, maka orang itu termasuk perampas yang bodoh, tetapi mengaku pintar ingin menjadi pemimpin, karena gila pangkat semata."

 

Maka dari itu, sosok pemimpin sejati haruslah memiliki kriteria seperti yang sudah dijelaskan diatas. Karena jika pemimpin itu memiliki tabiat yang buruk maka rakyatnya juga demikian, sebagaimana dijelaskan dalam kitab At-Tibrul Masbuk fi Nasihati al Muluk karya Imam al-Ghazali:

 

وقالت الحكماء: إِنَّ طِبَاعَ الرَّعِيَّةِ نَتِيجَةُ طِبَاعِ الْمُلُوكِ، لِأَنَّ الْعَامَّةَ إِنَّمَا يَنْتَحِلُونَ وَيَرْكَبُونَ الْفَسَادَ وَتَضِيقُ أَعْيُنُهُمْ اقْتِدَاءً بِالْكُبَرَاءِ، فَإِنَّهُمْ يَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمْ وَيَلْزَمُونَ طِبَاعَهُمْ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ قَدْ ذُكِرَ فِي التَّوَارِيخِ أَنَّ الْوَلِيدَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ كَانَ مَصْرُوفَ الْهِمَّةِ إِلَى الْعِمَارَةِ وَإِلَى الزِّرَاعَةِ؛ وَكَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ هِمَّتُهُ فِي كَثْرَةِ الْأَكْلِ وَطِيبِ الْمَطْعَمِ وَقَضَاءِ الْأَوْطَارِ وَالْمُهِمَّاتِ وَبُلُوغِ الشَّهَوَاتِ؛ وَكَانَتْ هِمَّةُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي الْعِبَادَةِ وَالزُّهْدِ

 

Artinya: "Para ahli hikmah berkata: "Sesungguhnya tabiat rakyat merupakan hasil dari tabiat para raja. Sebab, rakyat biasa hanya meniru dan mengikuti kerusakan serta menjadi tamak dengan mencontoh para pemimpin mereka. Mereka belajar dari mereka dan mengikuti kebiasaan serta sifat-sifat mereka."

 

Tidakkah engkau melihat bahwa dalam sejarah disebutkan bahwa Al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah memiliki perhatian besar terhadap pembangunan dan pertanian? Sedangkan Sulaiman bin Abdul Malik perhatiannya lebih kepada makanan yang lezat, memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan, serta mencapai kesenangan dan syahwatnya. Sementara Umar bin Abdul Aziz, perhatiannya tertuju pada ibadah dan kehidupan yang zuhud.

 

Terkait keadilan seseorang pemimpin, Imam al-Ghazali juga telah menukil hadits Rasulullah Saw dalam kitabnya At-Tibrul Masbuk fi Nasihati al-Muluk sebagai berikut:

 

قال رسول الله ﷺ: (عَدْلُ السُّلْطَانِ يَوْمًا وَاحِدًا خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَبْعِينَ سَنَةً).
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (نُصْفَةُ الْمَظْلُومِ زَكَاةُ الْعَقْلِ).
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «مَنْ سَلَّ سَيْفَ الْجَوْرِ سُلَّ عَلَيْهِ سَيْفُ الْغَلَبَةِ وَلَازَمَهُ الْغَمُّ» 

 

Artinya: "Rasulullah ﷺ bersabda: "Keadilan seorang pemimpin dalam satu hari lebih baik daripada ibadah selama tujuh puluh tahun." Beliau juga bersabda: "Membela orang yang terzalimi adalah zakat bagi akal." Dan beliau bersabda: "Barang siapa menghunus pedang kezaliman, maka pedang kekalahan akan dihunus atasnya, dan ia akan selalu diliputi kesedihan."

 

قال مؤلف الكتاب: الظُّلْمُ نَوْعَانِ: أَحَدُهُمَا: ظُلْمُ السُّلْطَانِ لِرَعِيَّتِهِ، وَجَوْرُ الْقَوِيِّ عَلَى الضَّعِيفِ، وَالْغَنِيِّ عَلَى الْفَقِيرِ.
"وَالثَّانِي: ظُلْمُكَ لِنَفْسِكَ، وَذَلِكَ مِنْ شُؤْمِ مَعْصِيَتِكَ، فَلَا تَظْلِمْ لِيُرْفَعَ عَنْكَ الظُّلْمُ، كَمَا جَاءَ فِي الْخَبَرِ: "الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

 

Artinya: "Imam Ghazali berkata, "Kezaliman itu ada dua jenis. Pertama, kezaliman penguasa terhadap rakyatnya, serta ketidakadilan orang yang kuat terhadap yang lemah dan orang kaya terhadap yang miskin. Kedua, kezalimanmu terhadap dirimu sendiri, yang merupakan akibat buruk dari maksiatmu. Maka, janganlah berbuat zalim agar kezaliman diangkat darimu, sebagaimana disebutkan dalam hadis: (Kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat)."

 

Sebagai penutup, hikmah yang dapat kita ambil dari penjelasan Imam al-Ghazali di atas adalah keadilan sebagai kunci ketenangan bagi penguasa dan rakyatnya. Setiap pemimpin akan dibalas sesuai dengan keadilannya atau kezalimannya. Dan perbuatan baik tidak akan pernah musnah, bahkan akan menjadi investasi yang menguntungkan di dunia dan akhirat.Semoga kita semua selalu diberikan taufik untuk berlaku adil dan bertakwa. Amin.