Oleh: Ahmad Bissri Fanani*
Apa itu saham? Menukil dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan, saham merupakan tanda penyertaan modal seseorang (badan usaha) pada suatu perusahaan atau Perseroan Terbatas (PT.). Daripada itu, seseorang yang memiliki saham berarti mempunyai kepemilikan sebuah perusahaan dalam bentuk persentase atau nominal. Namun pertanyaan adalah apakah saham wajib untuk dizakati? Jika iya, bagaimana penghitungannya? Mari kita ulas bersama!
Kewajiban Zakat Saham
Saham adalah bentuk transaksi kontemporer sehingga tidak akan kita temukan dalam literatur turast (tradisional). Ketiadaan ini bukan berarti hukumnya belum bisa disimpulkan, karena masih ada metode istinbat hukum seperti qiyas, ilhaq masail bil furu’ dan sebainya.
Menyikapi hal ini banyak ulama kontemporer yang telah sigap merumuskan hukumnya. Salah satunya adalah Syaikh Yusuf Qardawi dalam kitab Fiqhu Zakat karangannya. Beliau memaparkan bahwa ulama kontemporer (mu’ashirah) memilik beragam pandangan perihal kewajiban zakat bagi pemilik saham dengan beberapa argumen.
Pandangan pertama adalah opsional (tafshil). Dengan membeli saham berarti kita sedang bermitra dengan pihak lain. Maka dari itu, pertlu ditinjau tujuan terbentuknya mitra tersebut. Apakah untuk produksi barang, berniaga, atau hanya sekadar mencampur harta belaka? Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Abdurrahman ‘Isa dalam kitab Al-Mu’amalah Al-Hadisiyah wa Ahkamiha:
قدلا يعرف كثير ممن يملكون أسهم الشركات حكم زكاة هذه الأسهم ، وقد يعتقد بعضهم أنها لا تجب زكاتها ، وهذا خطأ . وقد يعتقد البعض وجوب الزكاة في أسهم الشركات مطلقاً ، وهذا خطأ أيضاً . وإنما الواجب النظر في هذه الأسهم تبعاً لنوع الشركة التي أصدرتها
Artinya: Banyak orang yang memiliki saham perserikatan tidak tahu hukum zakat saham yang mereka miliki. Sebagian dari mereka meyakini bahwa tidak ada kewajiban zakat atas saham dan ini salah. Sementara sebagaian yang lain meyakini terdapat kewajiban zakat atas saham secara mutlak. Ini juga salah. Kewajiban zakat atas saham hanya menyesuaikan bentuk mitra yang melandasinya [Isa, Abdurrahman, Al-Mu’amalah Al-Hadisiyah wa Ahkamiha (Beirut: Dar Al-Fikr: 2002) hal. 68-69]
Seumpama kita membeli saham dengan tujuan hanya untuk memproduksi suatu barang tanpa diperdagangkan seperti untuk membangun penginapan yang akan ditempati bersama, maka saham tersebut tidak wajib dizakati. Berbeda halnya dengan tujuan berdagang, seperti saham yang berlaku saat ini. Hukumnya wajib dizakati karena tergolong harta dagangan (mal tijarah).
Pandangan kedua adalah wajib zakat secara mutlak. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa saham adalah aset yang muncul karena adanya kerjasama dalam rangka berniaga, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Abu Zahra dan Abdurrahman Hasan:
أن الأسهم والسندات أموال قد اتخذت للاتجار ، فإن صاحبها يتجر فيها بالبيع والشراء ، ويكسب منها كما يكسب كل تاجر من سلعته ، وقيمتها الحقيقية التي تقدر في الأسواق تختلف في البيع والشراء عن قيمتها الاسمية ، فهي بهذا الاعتبار من عروض التجارة ، فكان من الحق أن تكون وعاء للزكاة ككل أموال التجارة ويلاحظ فيها ما يلاحظ في عروض التجارة
Artinya: “Saham dan obligasi adalah harta yang diperjualbelikan. Pemiliknya berdagang dengan menjual dan membelinya serta mendapatkan untung darinya sebagaimana setiap pedagang yang mendapat keuntungan dari barang dagangannya. Nilai intrinsiknya yang diestimasikan di pasar berbeda dengan nilai nominalnya saat dijual dan dibeli. Oleh karena itu, saham dan obligasi dianggap sebagai komoditas perdagangan. Dengan demikian, tepat kiranya menjadikannya sebagai objek zakat sama halnya dengan barang dagangan lainnya, dan aturan yang berlaku untuk komoditas perdagangan juga untuk saham dan obligasi.” .[ Yusuf Qardhawi, Fiqhu Zakat (Pustaka Al-Kautsar:2005), hal. 489.]
Dari dua pandangan tersebut kiranya pandangan kedua yang lebih relevan dengan kasus saham yang ada pada saat ini. Hal ini karena saham yang cenderung dipahami masyarakat adalah sebagai barang dagangan. Saham yang berlaku juga atas kerjasama yang berbau perniagaan.
Syarat dan Penghitungan Zakat Saham
Setelah membahaas hukum zakat saham, Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan syarat dan ketentuan zakat saham. Berhubung saham tergolong harta perniagaan, ketentuan yang ada di zakat ‘urudu tijarah (harta dagangan) juga berlaku di sini. Mulai syarat wajib meliputi Islam, baligh, merdeka, kemilikan secara sempurna, nisab dan haul hingga kadar yang dikeluarkan.
Oleh karena itu, setiap akhir tahun pemilik saham harus mentaksir harga saham sesuai dengan harga pasar ditambah dengan keuntungan yang ia peroleh selama setahun. Apabila mencapai nisab yang berjumlah 20 misqal atau senilai 85 gram emas, pemilik saham wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 dari hasil penjumlahan harga saham dan keuntungan. [Hasan bin Ahmad Al-Kaf, At-Taqriratussadidah (Surabaya: Darul Ulum Islamiyah: 2004) hal. 410]
Contoh ilustrasi: Reza, seorang pemuda yang tekun berinvestasi, tengah sibuk menghitung portofolionya di penghujung tahun. Ia harus menghitung zakat saham yang menjadi kewajibannya sebagai muslim. Reza membuka platform investasinya dan melihat kepemilikan sahamnya di berbagai perusahaan. Satu per satu, ia mencatat harga pasar terkini dari setiap saham yang ia miliki. Tak lupa, Reza juga memasukkan keuntungan yang ia terima sepanjang tahun berupa dividen.
Setelah semua data terkumpul, Reza menjumlahkan harga pasar seluruh sahamnya dan menambahkannya dengan total dividen yang ia terima. Angka yang didapatkan Reza kemudian ia bandingkan dengan nisab zakat saham, yaitu senilai dengan 85 gram emas. Tahun ini, kira-kira 1 gram emas dihargai Rp1.000.000,-. Dengan demikian, nisab zakat saham untuk tahun ini adalah Rp85.000.000, (85 gram x Rp1.000.000,).
Alhamdulillah, setelah dijumlahkan, total nilai saham Reza beserta dividen yang ia terima ternyata melebihi nisab. Ini artinya, Reza wajib mengeluarkan zakat dari investasinya tersebut. Besarnya zakat yang harus dikeluarkan Reza adalah 2,5% dari total nilai saham dan dividen. Reza pun segera menghitungnya. Sebagai contoh, misalkan total nilai saham dan dividen Reza adalah Rp100.000.000,- maka zakat yang harus dikeluarkan adalah: Zakat = 2,5 x Rp100.000.000,- = Rp2.500.000,-
Reza bersyukur karena investasinya tidak hanya menguntungkan secara finansial, namun juga memberinya kesempatan untuk berbagi melalui zakat. Ia pun segera menyalurkan zakat sahamnya melalui lembaga resmi yang terpercaya agar tepat sasaran dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.
Kesimpulan
Perihal saham wajib dizakati atau tidak ulama masih berselisih pendapat sebagaimana yang dipaparkan Syaikh Yusuf Qardlawi. Pendapat pertama memperinci, menyesuaikan tujuan investasi saham. Apakah untuk produksi barang, berniaga, atau hanya sekadar mencampur harta belaka. Sedangkan pendapat yang kedua mngatakan wajib zakat secara mutlak. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa saham adalah aset yang muncul karena adanya kerjasama dalam rangka berniaga.
*Mahasantri Ma'had Aly Annur II, Malang