• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Deddy Corbuzier dan LGBT dalam Konteks Hukum dan Moral

Deddy Corbuzier dan LGBT dalam Konteks Hukum dan Moral
Pemerintah sudah mengajukan konsep (LGBT), tetapi DPR dan civil society organization juga belum bersepakat. (Foto: NOJ/FB)
Pemerintah sudah mengajukan konsep (LGBT), tetapi DPR dan civil society organization juga belum bersepakat. (Foto: NOJ/FB)

Oleh: Mahfud MD*


Banyak yang bertanya, mengapa pelaku LGBT dan promotor-promotornya tidak ditindak secara hukum? Tentu jawabannya, karena LGBT tidak atau belum dilarang oleh hukum yang disertai ancaman hukuman. Ini terkait dengan asas legalitas. 


Ini adalah negara demokrasi, siapa pun boleh saling berekspresi asal tidak melanggar hukum. Kawan yg lain bertanya, di negara demokrasi pun harus ada sanksi bagi yang melanggar agama, moral, etika. Betul, tapi penjatuhan sanksi hukum harus berdasar hukum yang ada sebelum terjadinya perbuatan. Negara demokrasi harus dilaksanakan berdasar nomokrasi (pemerintahan hukum), dimana setiap melakukan penindakan hukum aparat harus berdasar UU yang telah ada. Coba saya tanya balik: harus dijerat dengan UU nomer berapa Deddy dan pelaku LGBT? Belum ada hukum yang mengaturnya. 


Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi norma hukum. Nah, masalah LGBT dan penyiarannya itu tidak/belum dilarang oleh hukum. Itu baru diatur dalam norma non hukum karena kita negara yang Berketuhanan yang Maha Esa. Jadi kasus Deddy Corbuzier dan LBGT itu sejauh ini belum ada kasus pelanggaran hukumnya.


Berdasar asas legalitas, orang hanya bisa diberi sanksi heteronom (yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum) jika melakukan pelanggaran yang oleh UU sudah ditetapkan sebagai larangan hukum. Apa yang begitu itu tak ada sanksinya? Ada. Tapi sanksinya adalah sanksi otonom yg berupa derita batin, misalnya, karena dibully publik, dikucilkan, ditinggalkan penggemar, takut, malu, merasa berdosa, dan sebagainya. Itu semua adalah sanksi moral dan sosial. Harus disadari, ajaran-ajaran agama banyak yang tidak atau belum dijadikan hukum positif. 


Contoh lainnya adalah adanya sila terpenting dari Pancasila yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila ini menegaskan bahwa manusia Indonesia beriman kepada Tuhan. Tapi sampai sekarang, tak satu pun orang dihukum karena, misalnya, mengaku ateis sebab sampai kini masalah ateisme tidak/belum diatur dengan hukum. Beda dengan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Kalau yang ini, sudah ada larangannya di Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966, Pasal- pasal Gangguan bagi Keamanan Negara dalam KUHP Jo. UU No. 26 Tahun 1999, dan UU No. 27 Tahun 1999. 


Contoh lainnya lagi ya masalah LGBT dan zina menurut agama. LGBT tidak bisa dihukum karena belum ada hukum positif yang mengatur larangan dan ancaman hukumannya. Hubungan seks antara orang yang tidak dalam ikatan perkawinan dalam konteks hukum positif, belum tentu zina sebab konsep zina menurut agama berbeda dengan konsep zina menurut KUHP.


Nah, kalau ingin ada hukuman untuk ini, silakan perjuangkan ke DPR sebagaimana yang pernah saya sampaikan pada tahun 2017 saat terjadi pro kontra soal LGBT ini, agar Rancangan KUHP kita yang sekarang sedang menunggu pengundangan bisa mengakomodasi hal-hal tersebut. Sekarang sedang dibahas di legislatif. 


Sebagai bagian dari proses ini, pemerintah sudah mengajukan konsep, tetapi DPR dan civil society organization (CSO) juga belum bersepakat. Jangan pula menuding pemerintah untuk mengetokkan palu tentang itu. Palunya ada di gedung DPR.

 

*Mahfud MD adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Mekopolhukam) Republik Indonesia.


**Artikel ini diambil dari status Facebook Mahfud MD pada Rabu (11/05/2022) dengan judul: Deddy Corbuzier dan LGBT dalam Konteks Hukum dan Moral: Sanksi Heteronom dan Sanksi Otonom 


Editor:

Opini Terbaru