• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Opini

Melihat Sejarah dan Kiprah Idul Khotmi Nasional Tarekat Tijaniyah di Indonesia

Melihat Sejarah dan Kiprah Idul Khotmi Nasional Tarekat Tijaniyah di Indonesia
Menteri Agama hadiri peringatan ke-231 Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijani di Kabupaten Garut, Jabar. (Foto: NOJ/jabarprov.go.id)
Menteri Agama hadiri peringatan ke-231 Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijani di Kabupaten Garut, Jabar. (Foto: NOJ/jabarprov.go.id)

Idul Khotmi lil Qutbil Maktum Syeikh Ahmad At-Tijani adalah tradisi tahunan yang biasa diadakan sebagai perayaan murid Tijaniyah. Tradisi tersebut dilaksanakan dalam rangka hari pengangkatan Syekh Tijani sebagai wali khatm atau al-quthb al-maktum. Kegiatan yang diadakan setiap tanggal 18 Shafar tersebut merupakan puncak ijtima’ kaum Tijaniyah seluruh Indonesia. Dilaksanakan bersifat nasional berdasar restu sesepuh muqaddam tingkat nasional. Sementara tempatnya bergiliran di tempat-tempat yang ada di Tanah Air.


Tradisi ini untuk pertama kalinya secara berturut-turut diadakan di Desa Betoyo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik pada tahun 1979, 1980 dan 1981 M. Selanjutnya dilaksanakan secara bergiliran di sejumlah kota di Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Bali.


Asal-usul sejarah berdirinya Idul Khotmi Tarekat Tijaniyah tidak lepas dari peran sejumlah muqaddam yaitu KH Umar Baidhawi (Surabaya) sebagai pendirinya berdasarkan usulan dari dua muqaddam yaitu KH Badri Mashduqi (Kraksaan Probolinggo) dan KH Mohammad Tijani Jauhari (Prenduan Sumenep).


Untuk menjalankan kegiatan Iddul Khotmi Nasional ini pada awalnya, KH Umar Baidhawi belum menyetujui (belum menyanggupi). Melalui pertimbangan yang cukup matang agar kegiatannya berjalan lancar, pada akhirnya menyetujui dengan syarat didampingi (dibantu) oleh KH Mukhlas Ahmad Ghazi (Probolinggo), sedangakan KH Fauzan Adziman Fathullah (Pasuruan) dimintai untuk menjadi katib (sekretaris) yang menangani berkaitan administrasinya.


Dalam perkembangannya, Idul Khotmi Nasional yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo pada tahun 1986 dan dirintis kalender At-Tijaniyah. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1987 dilaksanakan di Buntet, Jawa Barat. Hal penting pertama pada 'lebaran' ini adalah dipilihnya untuk pertama kali sesepuh Tijaniyah untuk Indonesia. Sekitar 40 muqaddam dari seluruh Jawa dan Madura, saat itu berhasil mengangkat dua orang untuk memimpin sekitar empat juta penganut: KH Umar Baidhawi dari Surabaya dan KH Mukhlas Ahmad Ghazi dari Probolinggo. "Ini perlu, supaya kita dikenal oleh perkumpulan Tijani Internasional yang bersidang dua tahun sekali  di Fez, Maroko," kata KH Badri Mashduqi, salah seorang muqaddam (Kraksaan Probolinggo) yang pernah menjadi Wakil Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur..


Pada kesempatan tersebut dilaksanakan seminar dengan beberapa narasumber yakni KH Badri Mashduqi (Kraksaan Probolinggo), KH Husein Muhammad (Pesantren Darut Tauhid al-Alawi, Cirebon), Djohan Effendi (Peneliti dari Departemen Agama RI) dan Martin van Bruinessen (peneliti dari Belanda).


Sebelum Idul Khotmi tersebut, pada tahun 1985 M/1406 H, perwakilan dari Indonesia mengikuti acara di Kota Fez, Maroko, yaitu Muktamar Thariqat Tijaniyah dan dihadiri utusan dari 18 negara: Kerajaan Maroko, Pakistan, Tunisia, Mali, Mesir, Mauritania, Negeria, Gana, Gambia, Gina, Pantai Gading, Sudan, Sinegal, Cina, Amerika Serikat, Prancis dan Indonesia. Utusan dari Indonesia adalah KH Umar Baidhawi (Surabaya) dan KH Badri Mashduqi (Probolinggo). Pada pembukaan muktamar tersebut, Raja Hasan II (Raja Maroko) berkenan memberikan sambutan. Gambaran di atas menunjukkan efektifitas metode tarekat dalam pengembangan dakwah Islam.


Pada tahun 1991, Idul Khotmi dilaksanakan di Gelora Bung Karno, Jakarta dan dihadiri Wapres dan Menteri Agama serta PBNU. Pada tahun 1993 Idul Khotmi At-Tijani yang ke-200 dilaksanakan di Kraksaan Probolinggo sebagai penanggung jawab KH Badri Mashduqi, dan sebagai penceramah dalam pengajian umum muballigh cilik Ginanjar Wisnu Kawirian dari Indramayu Jawa Barat.


Sedangkan di tahun 1995, Idul Khotmi dilaksanakan di Pondok Pesantren Tarbiyatuttijaniyah, Probolinggo yang dihadiri Sayyid Idris al-Iroqi. Dan pada tahun ini juga di Pondok Pesantren Badridduja Kraksaan, Sayyid Idris al-Iroqi membaiat KH Badri Mashduqi sebagai khalifah Tarekat Tijaniyah Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2001 Idul Khotmi dilaksanakan di Ciawi, Bogor, Jawa Barat dan dihadiri Presiden IV RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta tahun 2002, dilaksanakan di Jawa Barat dengan dihadiri Sayyid al-Basyir al-Murutania.


Dalam perjalanan kegiatan Idul Khotmi bukan berarti tanpa tantangan dan hambatan. Dalam hal ini, KH Badri Mashduqi memiliki peran penting sehingga setiap kali terdapat kesulitan terhadap penyelenggaraan kegiatan Tarekat Tijaniyah dapat mudah teratasi, seperti yang terjadi peristiwa di Lumajang dan Probolinggo sehingga bupati siap hadir. Begitu pula ketika sekelompok masyarakat di Bangkalan mengusulkan kepada MUI agar melarang Tarekat Tijani, dalam hal ini KH Badri Mashduqi memberikan pengertian kepada Kiai Misbah (Ketua MUI Jatim) melalui kaset sehingga pelarangan itu tidak terjadi.


Idul khotmi di Jakarta yang berlangsung pada tahun 1991 pun mendapatkan hambatan perizinannya, yang dalam hal ini, KH Badri Mashduqi berupaya untuk mengurangi hambatan-hambatan terhadap Tarekat Tijaniyah dengan cara mengambil hati (pendekatan) kepada pemerintah saat itu. Dari sinilah KH Badri Mashduqi memberikan pernyataan: "Kalau pemerintah berkata: Perkembangan Tarekat Tijaniyah jangan dihalang-halangi, itu pun merupakan sumbangan sumbangan paling besar, sehingga aparat-aparat di bawahnya tidak berani menghalangi dan merintangi."


Perkembangan pada tahun-tahun setelah itu, Idul Khotmi Tarekat Tijaniyah sudah semakin besar sehingga para pendahulu, khususnya sesepuh, muqaddam yang telah berjasa, dapat mengantarkan kegiatan baik regional maupun nasional lebih mudah diselenggarakan. Ditambah lagi karena para pengikutnya semakin besar sehingga masyarakat Indonesia lebih mudah mengenal tarekat dan ikut berbaiat dalam Tarekat Tijaniyah.


Editor:

Opini Terbaru