Oleh: Ahmad Isnaini Al-Ghifari *)
Pergeseran makna ibadah haji merupakan anomali ritual agama yang sudah merambah pada khalayak umum, khususnya umat Islam di Indonesia. Haji pada hakikatnya adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang mampu secara finansial, keamanan, jasmani, dan rohani. (Hernita Ulfatimah, 2020).
Anomali ritual yang terjadi di masyarakat dilatarbelakangi oleh kecenderungan masyarakat terhadap ibadah haji sebagai ibadah yang hanya bergelut pada aspek fisik. Hal tersebut tentunya berdampak pada kualitas ibadah yang dijalaninya, karena ibadah yang berkualitas adalah ibadah yang mengarah pada kesalehan amal dan kesalehan sosial.
Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtai’en Ngunut, Tulungagung, KH Muhson Hamdani, dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa ritual ibadah haji memiliki tiga bagian yang saling melengkapi, yaitu menjalankan ibadah haji itu sendiri, berusaha untuk mendapat kemabruran haji, dan menjaga kemabruran haji.
Ibadah haji menjadi sah secara syar’i jika dilaksanakan setiap rukun dan syaratnya. Setiap rukun ibadah haji memiliki nilai simbolik yang mengarah pada nilai tasawuf, seperti memakai kain ihram yang menyimbolkan bahwa Allah SWT tidak melihat kualitas dan kuantitas pakaian atau harta seorang hamba dalam menjalankan ibadah, seperti sabda Nabi SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ». رواه مسلم
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. (HR. Muslim).
Kekurangan dalam memahami ajaran tasawuf menjadi gejala awal terjadinya anomali ritual ibadah haji. Penerapan nilai tasawuf dalam ibadah haji juga menjadi pijakan awal untuk meraih haji yang mabrur, dengan begitu pemahaman nilai tasawuf menjadi salah satu yang utama dalam menjalani suatu ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ جَابِرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلَامِ وفي رواية لأحمد والبيهقي إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
Artinya: Dari sahabat Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Haji mabrur tiada balasan lain kecuali surga." Lalu sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apa (tanda) mabrurnya?" Rasulullah SAW menjawab, "Memberikan makan kepada orang lain dan melontarkan ucapan yang baik." (HR Ahmad, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi).
Berdasarkan hadits di atas, kriteria kemabruran ibadah haji dapat terlaksa secara sempurna jika mengamalkan nilai-nilai tasawuf, yaitu memberikan makanan kepada orang lain dan melontarkan ucapan baik. Dengan begitu pemaknaan ibadah haji tidak sekadar ibadah individual tetapi juga ibadah sosial.
Menjaga kemabruran ibadah haji menjadi sulit dikerjakan jika tidak dilandasi ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan dapat ditancapkan ke dalam hati jika hati sadar bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT akan kembali kepadanya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya: “Dari Anas dari Nabi SAW bersabda: Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari).
Nabi Muhammad SAW telah memberi kita wejangan untuk selalu memperhatikan hubungan vertikal (tuhan-hamba) dan horizontal (hamba-hamba) dalam semua ibadah terutama haji, karena tidak sedikit orang berprinsip bahwa haji merupakan ajang kompetisi untuk meraih kenaikan status sosial.
Islam dalam ilmu tasawufnya berpendapat bahwa kesucian ibadah terutama ibadah haji tidak serta merta hanya ditilik dari syari’atnya saja, tetapi juga ditilik dari kesucian adat, budaya, keilmuan dan sosial. Seperti fiman Allah SWT:
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَاۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Artinya: Menjawab, “Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 32)
Ayat ini memberitahu kepada kita bahwa ilmu harus disertai dengan kesucian baik dari pencariannya maupun pengamalannya.
Perluasan makna ibadah haji dapat mengingatkan kita kembali mengenai hakikat sebuah ibadah. Hendaknya kita terus berusaha semaksimal mungkin untuk terus memaksimalkan ibadah yang kita jalani, karena dengan begitu ibadah yang kita jalani menjadi berkualitas. Wallahu a’lam.
*) Ahmad Isnaini Al-Ghifari, santri sekaligus mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.