• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Risalah Redaksi

Mengembalikan Kedaulatan Bangsa dengan Mental Maritim

Mengembalikan Kedaulatan Bangsa dengan Mental Maritim
Kedaulatan bangsa dapat dikembalikan dengan mental maritim. (Foto: NOJ/NU Network)
Kedaulatan bangsa dapat dikembalikan dengan mental maritim. (Foto: NOJ/NU Network)

Seperti diketahui bahwa kawasan laut di negeri ini lebih luas dibandingkan dengan daratan. Namun dalam perjalanannya, pembangunan yang digalakkan masih berorientasi kepada darat, dan sedikit sekali yang menyinggung masalah kemaritiman. Warga kawasan perairan tidak memiliki perhatian yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan, demikian pula kawasan yang mengitari. Mereka harus rela menyaksikan betapa pembangunan yang tengah digalakkan lebih diprioritaskan di darat, dibandingkan mereka yang sebenarnya juga demikian menggantungkan hidupnya di air. 
 

Dalam suasana seperti ini, sangat relevan kalau bangsa Indonesia mengingat sosok almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Karena saat diberikan amanah menjadi presiden, memiliki pemikiran tentang kemaritiman. Gus Dur bahkan berhasil meletakkan kembali dasar-dasar pembangunan ekonomi yang selama ini berorientasi darat. Cucu Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari tersebut menekankan perlunya reorientasi pembangunan ekonomi dari basis daratan kembali ke basis kelautan, terlebih Indonesia berada di kawasan lautan Hindia-Pasifik yang sangat strategis dalam kancah perekonomian global.
 

Reorientasi pembangunan yang digagas Gus Dur sekaligus meluruskan sejarah bangsa yang pernah berjaya di masa lalu sebagai bangsa pelaut. Karena sejarah membuktikan bahwa kejayaan bangsa di masa lalu berakar di laut, dengan pembangunan berbasis kelautan kekuasaan kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan Islam disegani di dunia. Bahkan dengan berbasis kelautan inilah agama Islam berkembang pesat.
 

Salah satu terobosan besar dari Gus Dur saat menjadi presiden adalah mendirikan Departemen Eksplorasi Laut pada 26 Oktober 1999. Dan sejak 2005 menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga saat ini. Tak cuma itu, Gus Dur menerbitkan peraturan yang mendukung kejayaan maritim Indonesia, yakni Kepres No. 52/1999 konvensi internasional tentang tanggung jawab perdata untuk kerusakan akibat pencemaran minyak, Kepres No. 55/1999 tentang perjanjian kerja sama Indonesia dengan Jerman dalam bidang pelayaran, dan Kepres No. 178/1999 tentang ratifikasi konvensi hukum laut PBB tahun 1982 di Indonesia.
 

Pada 13 Desember 2000 di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid, bangsa Indonesia memperingati Hari Nusantara secara nasional. Kemudian melalui Keppres 126/2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara 13 Desember sebagai hari nasional, yang diperingati secara nasional. Pada 23 September 2003, Presiden Megawati Soakarnoputri mencanangkan Gerbang Mina Bahari (Gerakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional) di atas Kapal Del Pele, TNI-AL di kawasan Teluk Tomini.  Pada intinya, Gerbang Mina Bahari menjadikan sektor kelautan (perikanan, pariwisata bahari, industri dan jasa maritim, dan perhubungan laut) sebagai leading sektor, dan sektor-sektor lainnya harus mendukung.
 

Menurut Rokhmin Dahuri selaku pemerhati kemaritiman, Gus Dur sebagai inspirator kelahiran kementerian kelautan dan perikanan. Anggaran kemaritiman naik dari Rp600 miliar menjadi Rp77 triliun atas dasar pemaparan menteri eksplorasi laut dan perikanan dijabat Rokhmin. Khususnya tentang program pembangunan pelabuhan perikanan dan kawasan industri perikanan terpadu di wilayah terdepan NKRI. Tak hanya mengelola sumber daya laut, Gus Dur juga mendorong penguatan nelayan-nelayan Indonesia dan ketahanan di wilayah lautan Indonesia.
 

Mental Maritim
Dan gayung pun bersambut. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa sejak kurang lebih 20 tahun lalu, NU terus melakukan aneka upaya untuk membangun peradaban. Menurutnya, ini merupakan bukti bahwa jamiyah memiliki kesadaran untuk membangun peradaban baru. Untuk benar-benar bisa membangun peradaban, Gus Yahya mengajak agar NU memiliki karakter dan mental maritim yang selalu berbaik sangka kepada Tuhan, berbaik sangka kepada sesama manusia, dan mampu akrab dengan alam. 
 

Hal itu disampaikan Gus Yahya pada rangkaian hari lahir ke-96 NU di Hotel Meruora Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (05/02/2022). “Karakter peradaban maritim ini yang akan menjadi modal kekuatan NU dalam menyongsong perjuangan peradaban yang pasti tidak akan mudah. Tapi dengan karakter maritim ini, NU punya modal untuk mengarungi perjuangan yang berat,” jelas Gus Yahya.
 

Karena alasan inilah salah satu titik Harlah ke-96 NU dilaksanakan di NTT karena provinsi ini dinilai sebagai miniatur bangsa Indonesia dengan watak maritimnya. “NTT adalah miniatur Indonesia dan perwujudan dari watak peradaban Nusantara, yaitu watak maritim. Bahwa peradaban Indonesia ini adalah peradaban maritim, masyarakat Indonesia ini adalah masyarakat dengan karakter maritim,” ujar Gus Yahya. 
 

Pada Harlah ke-96 NU bertema Merawat Jagat Kemaritiman, Membangun Peradaban Nelayan itu, Gus Yahya memaparkan, masyarakat maritim memiliki watak selalu berbaik sangka kepada Tuhan. Buktinya, ketika seorang nelayan melaut, ia betul-betul memasrahkan nasib hidupnya kepada Tuhan di tengah hamparan laut yang luas dan sangat berisiko. Di tengah perjuangan peradaban yang penuh ketidakpastian, lanjut Gus Yahya, NU juga harus memiliki watak maritim tersebut. Selama tujuannya baik, pasti Tuhan akan memberikan yang terbaik. 
 

“Di tengah berbagai cobaan, di tengah aral melintang, mari berbaik sangka kepada Tuhan, karena NU punya tujuan-tujuan yang mulia. Bukan hanya untuk NU saja, bukan untuk Indonesia saja, tapi untuk kemanusiaan seluruhnya,” imbuh Gus Yahya. 
 

Selanjutnya, masyarakat maritim juga memiliki watak berbaik sangka kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, seorang nelayan senantiasa berbagi kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Dengan karakter yang demikian, Gus Yahya ingin Nahdliyin atau warga Nahdlatul Ulama juga memilikinya dalam membangun peradaban. Dengan begitu, NU tetap berkontribusi untuk seluruh umat manusia. “Karena peradaban yang NU cita-citakan untuk seluruh umat manusia, maka tidak bisa tidak, tidak ada pilihan lain selain berbaik sangka kepada manusia. Dengan berbaik sangka kepada manusia, NU tidak berpilih-pilih kepada siapa berbagi, karena hidup di atas bumi yang sama. Ini seperti orang-orang laut yang melaut di atas perahu yang sama,” terangnya. 
 

Lebih lanjut, Gus Yahya mengingatkan bahwa masyarakat maritim memiliki watak akrab dengan alam. Buktinya, untuk bisa melaut dengan sukses, nelayan harus memahami bintang, arah angin, kondisi laut, dan sebagainya. Inilah yang diinginkan Gus Yahya agar Nahdliyin juga mampu memahami alam dalam membangun peradaban. “Dalam membangun peradaban ini, tidak boleh menelantarkan alam tempat manusia hidup. Bumi harus dirawat dan dijaga. Jagat ini harus dimuliakan,” tegas Gus Yahya. 
 

Meski demikian, lanjut Gus Yahya, bukan berarti NU mengabaikan profesi-profesi lain yang ada di Indonesia seperti petani dan pedagang. Sebab, baik petani maupun pedagang, semuanya memiliki watak maritim. “Petani Indonesia adalah petani maritim, pedagang Indonesia adalah pedagang maritim. Karena semua orang di Indonesia ini menyadari, lingkungan di Nusantara merupakan kepulauan yang dikepung oleh samudera-samudera yang luas,” tandas Gus Yahya. 
 

Tidak salah, dan bahkan benar adanya kalau ada kalangan mengingatkan bahwa seluruh aspek kehidupan warga diurusi oleh NU. Dan pada saat yang sama, Nahdliyin ada di beberapa sektor tersebut. Karenanya, kalau selama ini ada banyak lembaga dan badan otonom yang dimiliki, maka hal tersebut memberikan pesan bahwa NU selalu hadir dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.
 

Dengan demikian, bila jamiyah ini menangani secara serius profesi dan apa saja yang digeluti Nahdliyin, maka dengan demikian keberadaannya memberikan manfaat untuk umat. Karena diakui atau tidak, kalangan dhuafa dan mustadhafin adalah Nahdliyin. Oleh sebab itu, memberikan perhatian kepada masa depan dan kesejahteraan mereka, sama dan sebangun dengan menyelesaikan hampir seluruh masalah bangsa. Kalau mental maritim itu sudah dimiliki jamiyah dan jamaah, insyaallah cita-cita besar baldatun thayyibatun warabbul ghafur bukan harapan semu.


Risalah Redaksi Terbaru