• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 19 Januari 2025

Tokoh

Mengenang KH Abdul Hamied, Wali Kharismatik dari Bangsalsari Jember

Mengenang KH Abdul Hamied, Wali Kharismatik dari Bangsalsari Jember
KH Abdul Hamied. (Foto: NOJ/ Wildan Miftahussurur)
KH Abdul Hamied. (Foto: NOJ/ Wildan Miftahussurur)

KH Abdul Hamied di kalangan para santri dan pengikutnya, ia sering dipanggil “Syeikh” atau “Pak Syeikh”, sebuah gelar yang diberikan kepada seseorang yang alim, saleh, dan wiro’i. Tokoh kiai kharismatik yang oleh masyarakat sekitar dijuluki “wali” atau “waliyullah” di Bangsalsari, Jember. 

 

Kiai Abdul Hamied lahir pada 12 Juni 1935 di Desa Kedungsuko, Bangsalsari, Jember. Ia merupakan anak keempat dari pasangan Kiai Kholiel Ghazali dan Nyai Khadijah. Ia berada di dalam kandungan ibunya selama 13 bulan. Nama kecil Kiai Abdul Hamied adalah Abdullah, namun ayahnya mengubahnya menjadi Abdul Hamied. 

 

Kiai Kholiel Ghazali, ayahnya, adalah sahabat dekat Kiai Abdul Hamid Pasuruan. Ketika Kiai Kholiel Ghazali meninggal, Kiai Abdul Hamid Pasuruan datang segera setelah mendengar kabar tersebut, bahkan lebih dulu daripada santri yang memberitahukan.

 

Seperti anak-anak lainnya, ia menghabiskan masa kecil dengan bermain layang-layang di sawah dan mencari ikan di sungai. Meski nakal sesekali, ia tidak pernah menyakiti orang lain. Ia dibesarkan oleh Ngatimah, pengasuhnya, sementara teman bermainnya adalah saudara-saudara sepunya seperti Saunah dan Masfufah.

 

Sebagai anak kiai, Kiai Abdul Hamied mulai belajar Al-Qur'an dari ibunya, Nyai Khadijah. Namun, setelah ibunya meninggal saat ia masih berusia sekitar 8 tahun, pengajian dilanjutkan oleh ayahnya, Kiai Kholiel. Sejak saat itu, Kiai Abdul Hamied tinggal bersama kakaknya, Siti Ruqayyah.

 

Masuk usia remaja, Kiai Abdul Hamied mengalami pencarian identitas diri yang membuka tabir kewaliannya. Selain dirinya, ada juga seorang kiai wali di Bangsalsari, yaitu Kiai Abdul Halim Rahman, yang juga masih kerabatnya. Keduanya memiliki cara dan pengalaman mencari ilmu yang berbeda.

 

Kiai Abdul Hamied muda lebih sering menghabiskan waktu di luar pesantren. Ia sempat mondok di Desa Semboro di bawah asuhan Kiai Asmuni, namun hanya sebentar. Bahkan ia lebih sering tinggal di rumah KH. Ishaq atau Mbah Basar, yang berada tidak jauh dari pondok.

 

Kiai Abdul Hamied muda tidak menjalani pendidikan pesantren yang biasa, namun ia mengaku dapat membaca kitab tanpa pernah menuntut ilmu secara formal. Hal ini ia ceritakan kepada anak-anaknya, bahwa ia tidak pernah mondok namun bisa langsung mengaji.

 

Kiai Abdul Hamied juga gemar berziarah ke makam para wali, termasuk ke Demak dan Batuampar di Madura. Bahkan, ia pernah melakukan perjalanan ziarah selama 4 tahun dengan sepeda ontel. Suatu ketika, ia mendengar suara tanpa wujud saat berziarah ke makam Sunan Kalijaga yang memberitahunya bahwa ia telah mencapai tujuannya dalam membaca kitab dengan makna, tanpa belajar sebelumnya.

 

Selain itu, Kiai Abdul Hamied sering mengamalkan bacaan tertentu, seperti menghatamkan Al-Qur'an secara langsung dari jam 6 pagi hingga jam 2 siang, sesuai dengan hadis qudsi yang diamalkan. Ia percaya bahwa orang yang sibuk membaca Al-Qur'an dengan niat lillahi ta'ala akan diberikan apa yang lebih utama dari yang diminta oleh orang lain.

 

Kiai Abdul Hamied dikenal memiliki kemampuan spiritual yang luar biasa, bahkan saat bermain sepakbola. Ia pernah membentuk tim sepakbola bernama “Rantai Emas” dan menjadi kiper yang “sakti”, sehingga timnya selalu menang.

 

Meskipun memiliki pengalaman spiritual luar biasa, Kiai Abdul Hamied mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu secara formal, baik di pesantren maupun sekolah umum, agar dapat mengembangkan yayasan dan pesantren yang telah dirintisnya.

 

Pesantren Awwalu Ihyai Dari al Almanah (AIDA), yang didirikan oleh Kiai Abdul Hamied sekitar 1965, kini semakin berkembang. Pesantren ini menyediakan pendidikan pesantren sekaligus sekolah umum dari TK hingga SMK, serta BLKK Yapsis AIDA.

 

Kiai Abdul Hamied menikah dengan Nyai Muzayyanah pada 1963 dan dikaruniai 10 anak. Ia meninggal pada 2003, sementara Nyai Muzayyanah wafat pada 2009. Keduanya dimakamkan di Pesantren AIDA, yang kini ramai diziarahi oleh para alumni dan masyarakat dari berbagai kota.


Tokoh Terbaru