• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Tokoh

Pengalaman Sukses Almaghfurlah KH A Masduqie Mahfudh dengan Shalawat

Pengalaman Sukses Almaghfurlah KH A Masduqie Mahfudh dengan Shalawat
Dengan mendawamkan shalawat, almaghfurlah KH A Masuduqie Mahfudh mampu meraih kesuksesan hidup. (Foto: NOJ/ Nu Network)
Dengan mendawamkan shalawat, almaghfurlah KH A Masuduqie Mahfudh mampu meraih kesuksesan hidup. (Foto: NOJ/ Nu Network)

Ada jaminan kesuksesan bagi umat islam yang istikamah menjaga dua ibadah ini, yakni menjaga shalat jamaah dan selalu membaca shalawat. Mengalaman disampaikan almaghfurlah KH Achmad Masduqie Machfudh. Kisahnya disampaikan berikut ini. 


Shalawat dan shalat jamaah adalah dua “senjata” bagi Achmad Masduqie Machfudh. Tiap menerima aduan masalah dari masyarakat, ia selalu berwasiat untuk membaca shalawat, minimal 1000 kali setiap hari dan 10.000 kali setiap malam Jumat. 


Rais Syuriyah PBNU masa khidmat 2010-2015 yang juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono Kota Malang ini memiliki pengalaman menarik tentang shalawat Nabi, tepatnya pada tahun 1956, saat ia masih duduk di sebuah SLTA di Yogjakarta. 


Suatu ketika, ia mendapat gangguan jin di sebuah masjid tempat belajarnya sehingga selama tiga hari Maduqie muda merasa ingin banyak makan tapi anehnya tidak bisa buang hajat. Di hari keempat, tubuhnya pun sangat panas dan saat itu juga berpesan kepada adiknya. 


“Dik, nanti kalau aku mati, tolong jangan bawa pulang janazahku ke Jepara, tetapi dikuburkan di Yogya saja,” pinta kiai yang wafat pada 1 Maret 2014 ini kepada sang adik. 


Kiai Masduqie datang ke Yogya berniat untuk mondok. Dirinya khawatir syahidnya hilang jika wafat di Yogya namun jenazahnya dimakamkan di Jepara. Sontak saja, adiknya semakin khawatir kondisinya. Maka diajaklah sang kakak menemui seorang seorang kiai. 


“Mari kita pergi ke kiai itu, kiai yang mas biasa ngaji di hari Ahad.” 


Kiai Masduqie menerima ajakan adiknya. Pergilah dia bersama adiknya dengan naik becak dan sampai di rumah pak kiai yang di maksud pada pukul satu malam. Ketika datang, pintu rumah kiai masih terbuka. Tentu tengah malam itu sang tuan rumah sudah tidak melayani tamu, karena sejak pukul 10 malam adalah waktu khusus untuk ibadah kepada Allah. 


Karena melihat Masduqie muda yang datang di tengah malam dengan keadaan payah, kiai pun mempersilahkan beristirahat di rumah. Masduqie muda pun tertidur di rumah kiai itu. Baru beberapa jam di rumah kiai, tepatnya pukul 3 malam, dirinya terbangun karena merasa mulas ingin buang hajat. Setelah itu, rasa sakit dan panas yang dirasakan sedikit hilang. Pada pagi harinya, dirinya yang masih panas badannya bertemu dengan kiai. 


“Pak kiai, saya sakit”. 


Bukannya merasa iba, sang kiai hanya tersenyum. Dan anehnya, rasa panas yang dirasakan hilang seketika itu. 


Sang kiai dawuh: “Mas, sampean gendeng mas.” 


“Kenapa gendeng, kiai?” tanya Masduqie muda. 


“Ya, wong bukan penyakit dokter, sampean kok bawa ke dokter, ya uang sampean habis. Pokoknya kalau sampean kepengin sembuh, sampean tidak boleh pegang kitab apapun,” jawab kiai. 


Jangankan membaca, menyentuh saja tidak diperbolehkan. Padahal pada saat itu, Masduqie muda dua bulan lagi akan mengikuti ujian akhir sekolah. 


“Kiai, dua bulan lagi saya ujian, kok enggak boleh pegang buku,” Masduqie muda matur kepada kiai. 


Seketika itu sang kiai menanggapinya dengan marah-marah, 


“Yang bikin kamu lulus itu gurumu? Apa bapakmu? Apa mbahmu?” 


Masduqie muda menjawab: “Pada hakikatnya Allah, kiai.” 


“Lha iya gitu!” timpal sang kiai. 


“Lalu bagaimana syariatnya (upaya yang dilakukan), kiai?” tanya Masdqie muda lagi. 


“Tiap hari, kamu harus baca shalawat yang banyak,” jawab, sang kiai. 


Masduqie muda kembali bertanya: “Banyak itu berapa, kiai?” 


Pak Kiai pun menjawab: “Ya paling sedikit seribu, habis baca 1000 shalawat, minta ‘dengan berkat shalawat yang saya baca, saya minta lulus ujian dengan nilai bagus’.” 


Ya sudah, Masduqie muda tidak berani pegang kitab maupun buku, karena memang ingin sembuh. 


Mendengar cerita dari Masduqie muda, pamannya marah-marah. 


“Bagaimana kamu ini? Dari Jepara ke sini, kamu kok nggak belajar?” 


Masduqie muda tidak berani komentar apa-apa. Karena menuruti  dawuh kiai untuk tidak menyentuh kitab atau buku, dan nurut saja. Menjelang ujian, pelajaran bahasa Jerman, bukunya ternyata diganti oleh gurunya dengan buku yang baru. Karena masih dilarang menyentuh buku, maka tetap taat titah kiai. Setelah ujian, Masduqie muda dipanggil guru bahasa Jerman. 


Guru: “Kamu her, Masduqie.”  


Masduqie: “Berapa nilai saya pak guru?,”    


Guru: “Tiga!” 


Masduqie: “Ya, pak. Kapan, pak?”


Guru: “Seminggu lagi.”   


Namun setelah seminggu, Masduqie muda tidak langsung mendatangi guru bahasa Jerman, karena larangan pegang buku belum selesai. Baru setelah selesai, Masduqie muda mendatangi sag guru . 


Masduqie: “Pak, saya minta ujian.” 


Guru: “Ujian apa?” 


Masduqie: “Ya ujian bahasa Jerman, pak.” 


Guru: “Lha kamu bodoh apa?” 


Masduqie: Lho kenapa, pak?” 


Guru: “Nilai delapan kok minta ujian lagi. Kamu itu minta nilai berapa?” 


Masduqie: “Lho, ya sudah pak, barang kali bisa nilai sepuluh.” 


Dari nilai angka 3, karena shalawat, mingkem menjadi angka 8. Setelah itu, dirinya tidak pernah meninggalkan membaca shalawat. 


Itulah satu pengalaman shalawat KH Masduqie Mahfudz saat muda. Pengalaman shalawatnya lagi, yakni ketika Kiai Masduqie harus melaksanakan dinas dinas di Tarakan, Kalimantan Timur. 


Pada suatu hari, ada tamu pukul 5 sore, dan bilang ke Kiai Masduqie: “Saya disuruh oleh ibu, disuruh minta air tawar.” Kiai Masduqie mengaku masih bodoh saat itu. Seketika itu ia menjawab:


“Ya, silakan ambil saja, air tawar. Kan banyak itu di ledeng-ledeng itu.” 


“Bukan itu, Pak. Air tawar yang dibacakan doa-doa untuk orang sakit itu, pak,” kata si tamu. 

“O, kalau itu ya tidak bisa sekarang. Ambilnya harus besok habis shalat shubuh persis.” 


Kiai Masduqie menjawab begitu karena dirinya ingin bertanya kepada sang istri perihal abah mertua yang sering nyuwuk-nyuwuk (membaca doa untuk mengobati) dan ingin tahu apa yang dirapalkan. Ternyata istrinya tidak tahu tentang doa yang dibaca abahnya di rumah. Padahal Kiai Masduqie sudah janji. 


Habis isya saat harus wiridan membaca dalail, Kiai Masduqie menemukan hadits tentang shalawat. Inti hadits tersebut kurang lebih: “Siapa yang baca shalawat sekali, Allah beri rahmat sepuluh. Baca shalawat sepuluh, Allah beri rahmat seratus. Baca shalawat seratus, Allah beri rahmat seribu. Tidak ada orang yang baca shalawat seribu, kecuali Allah mengabulkan permintaanya.” 


Setelah mencari di berbagai kitab, ketemulah hadits tersebut sebagai jawabannya. Lalu bangun di  tengah malam, mengambil air wudlu dan air segelas, setelah itu membaca shalawat seribu kali. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinâ Muhammad. Setelah selesai membaca seribu shalawat, dirinya berdoa: ”Allahumaj’al hadzal ma’ dawâ-an liman syarabahu min jamî’il amrâdh”. Arti doa tersebut: “Ya Allah, jadikanlah air ini sebagai obat dari segala penyakit bagi peminumnya”. Lalu meniupkan ke air gelas dan baca shalawat satu kali lagi. 


Di pagi hari, diberikanlah air tersebut kepada orang yang memintanya. Setelah tiga hari, ada berita dari orang tersebut bahwa si penderita penyakit sudah sembuh setelah meminum air dari Kiai Masduqie. Padahal, sakitnya sudah empat bulan dan belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Dokter pun sudah tidak sanggup menangani penyakit yang diderita orang ini dan menyarankan untuk mencari obat di luar. 


Anehnya, pemberi kabar itu mengatakan bahwa Kiai Masduqie selama tiga hari itu mengelus-elus perut orang yang sakit. Mengelus-ngelus perut? Tentu saja tidak, apalagi si penderita penyakit adalah perempuan yang bukan mahramnya. Hal itu juga mustahil karena Kiai Masduqie selama tiga hari di rumah saja. Berkat shalawat, atas izin Allah penyakitnya sembuh. Sejak peristiwa itu di Kalimantan Timur, Kiai Masduqie terkenal sebagai guru agama yang pintar nyuwuk. Sampai penyakit apa saja bisa disembuhkan. Jika tidak membacakan shalawat, ya istrinya mengambilkan air jeding, yang sudah dipakai untuk wudlu. Ya sembuh juga penyakitnya. Inilah pengalaman shalawat Kiai Masduqie ketika dinas di Kalimantan. 


Cerita lain, suatu ketika beliau harus ke Samarinda dengaan naik kapal pribadi milik Gubernur Aji Pangeran Tenggung Pranoto. Dalam pertengahan perjalanan melalui laut, tepatnya di Tanjung Makaliat kapal yang diinaikinya terkena angin puting beliung. Maka goyang-goyanglah kapal tersebut. 


Kiai Masduqie sadar, berwudlu, lalu naik ke atas kapal. Dirinya mengajak para awak kapal untuk mengumandangkan adzan agar malaikat pengembus angin dahsyat tersebut berhenti. Lalu berhentilah angin tersebut. Inilah salah satu pengalaman shalawat Kiai Masduqie. 


“Kalau ada orang menderita penyakit aneh-aneh, datang ke Mergosono, insya Allah saya bacakan shalawat seribu kali. Kalau ndak mempan sepuluh ribu kali, insyaallah qabul,” kata Kiai Masduqie saat pengajian di Majelis Riyadul Jannah. 


“Berkat shalawat Nabi, sampean tahu sekarang, saya bangun pondok sampai tingkat tiga, nggak pernah minta sokongan dana masyarakat, mengedarkan edaran, proposal nggak pernah. Modalnya hanya shalawat saja. Uang yang datang ya ada juga, tapi nggak habis-habis. Itu berkat shalawat,” lanjut Kiai Masduqie dalam pengajiannya. 


Kisah lainnya, suatu ketika, seorang bidan mengadu kepada Kiai Masduqie tentang suaminya yang pergi meninggalkannya karena terpikat dengan perempuan lain. Ia berharap suaminya bisa kembali. Abah, demikian para santrinya menyapa, menjawab bidang tersebut dengan tegas menganjurkan untuk baca shalawat. Bidan pun secara istikamah mengamalkannya, dan dalam selang beberapa lama suaminya kembali seraya bertobat. 


Kiai Masduqie memiliki sembilan putra/putri ini yang di samping sarjana juga bisa membaca kitab semua. Saat anaknya ada yang mau ujian, di samping putranya juga disuruh baca shalawat, ia juga membacakan shalawat untuk kelancaran dan kesuksesan putra-putrinya. 

 


Kiai Masduqie pernah dawuh: ”Berkat shalawat Nabi SAW, semua yang saya inginkan belum ada yang tidak dituruti oleh Allah. Belum ada permintaan yang tidak dituruti berkat shalawat Nabi. Semua permintaan saya terpenuhi berkat shalawat”. Shallu ‘alan Nabi Muhammad! Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad.


Tokoh Terbaru