Tulungagung, NU Online Jatim
Pusat Studi Fiqih Nusantara (Pusfinus) Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN Satu) Tulungagung menyelenggarakan 'Seminar Nasional Hukum Islam Kontemporer'. Kegiatan tersebut dipusatkan di Aula Gedung Saifudin Zuhri lantai 6 UIN Satu Tulungagung, Kamis (05/12/2024).
Agenda ini mengusung tema "Murunah Ijtihad Jamiyah Nahdlatul Ulama: Dari Fiqih Peradaban Menuju Persatuan Agama 20". Kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya diseminasi artikel jurnal internasional.
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Satu Tulungagung, Prof Iffatin Nur, menyampaikan pentingnya diseminasi pemikiran hukum Islam yang relevan dengan dinamika masyarakat.
“Hal ini merupakan bagian dari tumbuhnya ide-ide baru dalam diskursus hukum Islam,” ujarnya.
Seminar tersebut menghadirkan tiga narasumber utama. Meraka adalah KH Asmawi Mahfudz, dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Satu Tulungagung sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamal Blitar. Narasumber lainnya, yaitu Direktur Pascasarjana Universitas Islam Tribakti Lirboyo Kediri Abbas Shofwan Mathlail Fajar danKetua Jurusan Syariah UIN Satu Tulungagung Nyai Arifah Millati Agustina.
Dalam pemaparannya, KH Asmawi Mahfudz menjelaskan inti dari artikelnya yang bertajuk "Murunah Ijtihad Nahdlatul Ulama: dari Fiqih Peradaban ke Persatuan Agama 20". Ia menyoroti fleksibilitas fikih Nahdlatul Ulama (NU) dalam merespons dinamika masyarakat.
“NU telah menunjukkan konsistensinya dalam mendialogkan hukum Islam dengan perubahan sosial, baik secara lokal maupun internasional,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti inovasi hukum Islam yang diusung tokoh-tokoh NU seperti KH Sahal Mahfudz dengan fiqih sosial, KH Ali Yafie dengan gagasan fikih ekologis, hingga KH Said Aqil Siroj dengan konsep fiqih nusantara.
“Serta, melalui Religion of Twenty (R20) dan halaqah fikih peradaban, NU membuktikan pendekatan ijtihad yang berbasis maqashid syariah untuk kemaslahatan global,” kata Kiai Asnawi.
Hal senada juga disampaikan Abbas Shofwan. Ia menyebutkan bahwa fleksibilitas ijtihad NU mencerminkan harmoni antara hukum Islam dan perkembangan peradaban. Konsep ini tidak bertentangan dengan teori believe yang dibangun dari doubt, sebagaimana dinyatakan Charles Peirce.
“Mayoritas hukum Islam terbentuk dari asumsi rasional yang mendukung maslahat,” paparnya.
Ia juga mengapresiasi pengembangan fikih ekologis sebagai bagian dari maqashid syariah, serta fikih peradaban sebagai kerangka pembangunan masyarakat.
Sementara itu, Nyai Arifah Millati menyoroti perbedaan antara Humanitarian Islam dan fiqih peradaban. Humanitarian Islam adalah konsep universal, sedangkan fiqih peradaban lebih kepada pendekatan metodologis dari qauli ke manhaji.
“Oleh karena itu, penting kiranya pelibatan perempuan dalam diskursus ijtihad NU, baik secara struktural maupun substantif,” tuturnya.
Diketahui, artikel yang menjadi fokus seminar itu telah diterbitkan dalam Journal of Indonesian Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Seminar ini dihadiri oleh lebih dari 200 peserta, termasuk dosen Fakultas Syariah, peneliti Pusfinus, pengelola Ma'had Aly, mahasiswa, dan mahasantri sekitar UIN Satu Tulungagung.