• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 1 Mei 2024

Opini

Hakikat Manusia dalam Ajaran Tasawuf KH Achmad Asrori al-Ishaqi 

Hakikat Manusia dalam Ajaran Tasawuf KH Achmad Asrori al-Ishaqi 
Tampak Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dengan KH. Asrori Al-Ishaqi (Foto:NOJ/Alibrizchannel)
Tampak Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dengan KH. Asrori Al-Ishaqi (Foto:NOJ/Alibrizchannel)

Oleh: Lukman Hakim*)


Manusia adalah mahluk Allah swt yang dianugerahi akal dan hati. Berbeda dengan makhluk lainnya seperti hewan yang hanya memiliki insting (naluri) dalam melaksanakan segala sesuatu. Hal ini kemudian yang menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Melalui akal, manusia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Namun, melalui akal itu juga, manusia berpotensi untuk mencampuradukkan yang hak dan yang batil. Untuk itu, sangat menarik jika hakikat manusia ini dikaji melalui kacamata tasawuf.


Menurut para ahli ilmu mantiq manusia ialah “hayawan al-natiq” atau hewan yang berakal. Sedangkan menurut ahli syari’at manusia adalah mahluk yang diciptakan Allah dan dikenai tanggung jawab (al-mukallaf), baik tanggung jawab tersebut kaitannya dengan Allah, keseimbangan alam ataupun dengan mahluk lainnya. (Abu Yazid al-Ajami, Haqiqat al-Insan baina al-Qur’an wa al-Ulum, hlm. 16)


Kedua pengertian tersebut memiliki korelasi satu sama lain, karena manusia yang menyandang label “al-mukallaf” (dikenai tanggung jawab) tidak mungkin terjadi jika tanpa akal. 

 

Mengenai label “al-mukallaf” hal ini berdasarkan al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 30 bahwa Allah jadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin). Namun, di sisi yang lain lebel “khalifah” ini juga digunakan secara sewenang-wenang yang pada akhirnya membawa manusia pada kejahatan baik pada alam, sesame manusianya atau tindakan kriminal lainnya.


Sehingga, untuk mendudukkan masalah ini, K.H Achmad Asrori al-Ishaqi yang merupakan tokoh tasawuf kontemporer, dalam kitab al-Muntakhobatnya menjelaskan bahwa hakikat manusia diciptakan dengan dua unsur alam yaitu alam latif dan alam katsif.


Sederhananya alam latif ialah alam yang tidak dapat dilihat oleh mata atau panca indera (ruh manusia), sedangkan alam katsif ialah alam yang dapat dilihat dan dirasakan oleh panca indera (jasad manusia). Adapun posisi hati ialah sebagai cermin bagi kedua alam tersebut (K.H Achmad Asrori, al-Muntakhobat, halaman, 185)


Tegasnya, hakikat menusia menurut beliau adalah rohani yang bersemi dan bersemayam dalam jasad yang kongkrit. Rohani yang berada dalam jasad manusia merupakan nur-cahaya Rabbaniyah, lahutiyah dan jabarutiyah yang terhalang oleh jasad manusia itu sendiri. Hal ini, sejalan dengan pemikiran Al-Kindi, tokoh filsuf muslim, tentang kosmologi bahwa penciptaan alam dan seisinya ialah melalui proses emanasi, atau pancaran cahaya Tuhan. Sehingga, dalam diri manusia, mengandung cahaya rabbaniyah yang tidak dapat dilihat dan dirasa oleh panca indera. (Amroeni Derajat, Filsafat Islam, halaman 15)


Menurut K.H Achmad Asrori, kedua alam tersebut memiliki implikasi pada perbuatan, sikap dan pola hidup individu manusia. Individu yang sifat kemanusiaannya mengalahkan atau menguasi alam rohaniahnya atau latifahnya, maka selamanya ia akan terpenjara dalam keterdindingan dan terbelenggu dalam bentuk fisiknya, seperti dikuasai hawa nafsu, kenikmatan duniawi atau materialistik.


Sebaliknya, individu yang sifat rohaniahnya mengalahkan sifat kemanusiaannya, maka ia akan sampai dan bersimpuh di sisi Allah swt. Dan ruhnya dapat kembali ke asalnya tanpa terhalang bumi, arsy dan lain sebagainya. Tentu, hal ini merupakan tingkatan orang-orang yang memiliki maqam tinggi di sisi Allah.


Sehingga, dari penjelasan tersebut dapat dipahami kenapa manusia bisa melakukan kejahatan dan tindakan tidak terpuji lainnya, tidak lain karena diri mereka sudah dikuasi oleh alam al-katsif, atau alam yang lebih mementingkan materi dan kenikmatan duniawi daripada alam rohaniahnya.


Dalam hal ini, K.H Achmad Asrori seolah-seolah ingin menyampaikan bahwa kedua alam yang merupakan hakikat manusia baik alam al-latif (ruh) atau alam katsif (jasad) harus seimbang. Untuk itu, tidak cukup hanya mengasah akal atau aspek intelektual, tetapi juga harus mengasah aspek spiritual.


*) Lukman Hakim, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya.


Opini Terbaru