• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 7 Desember 2024

Opini

Memaknai Idul Fitri Secara Hakiki

Memaknai Idul Fitri Secara Hakiki
Ilustrasi shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta. (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta. (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Muhammad Nurravi Alamsyah *)

 

Bulan Ramadhan yang penuh dengan ampunan, rahmat dan berkah benar-benar telah berlalu. Pada momen perpisahan, yang disambut datangnya Idul Fitri, pasti tidak luput dari beragam refleksi yang akan mewarnai. Sebagai ibarah, seyogyanya umat Islam agar meneladani secarik pidato yang disampaikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA di hari Idul Fitri:

 

أيها الناس إنكم صمتم لله ثلاثين يوما وقمتم ثلاثين ليلة وخرجتم اليوم تطلبون من الله أن يتقبل منكم كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر فيقال له: إنه يوم فرح وسرور فيقول: صدقتم ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا فلا أدري أيقبله مني أم لا؟

 

Artnya: “Wahai umat Islam, sungguh engkau telah berpuasa selama tiga puluh hari karena Allah, dan engkau telah mendirikan ibadah pada malamnya, dan kini engkau keluar berharap agar Allah menerima amal-amalmu. Kau tahu? Konon, dahulu sebagian umat Islam bersedih pada hari ini. Dia ditanyai “Kenapa engkau sedih? Ini adalah hari bahagia dan gembira”. Mereka menjawab “Engkau benar, akan tetapi aku tidak lain hanyalah seorang hamba, di mana Tuhanku telah memerintahkanku agar menjalankan ibadah selama satu bulan penuh. Kini aku bersedih, karena aku tidak tahu apakah amalku diterima atau tidak””. (Ibnu Rajab al-Hanbaly, Lathaif al-Ma’arif, 209).

 

Usai ibadah ekstra selama sebulan penuh, menahan segala macam animo, Allah telah menghadirkan momentum bahagia bagi umat Islam berupa Idul Fitri. Dalam perspektif linguistik, term “Idul Fitri” bermakna kembali suci. Artinya, pasca umat Islam berperang melawan hawa nafsu satu bulan penuh, kini mereka kembali suci seperti sedia kala. Hingga hari ini familiar disebut sebagai hari kemenangan, karena umat Islam telah memenangkan peperangan dengan hawa nafsu yang ada pada dirinya atas hal-hal yang dapat mencederai ibadah puasa selama satu bulan penuh. Mendeskripsikan vibes hari kemenangan ini, Ali Thantawi menggubah secarik puisi sebagai berikut:

 

تمر الأيام متتابعة متشابهة لايكاد يختلف يوم منها عن يوم، ثم يأتي العيد فتراه يوماً ليس كالأيام، وترى نهاره أجمل، وتحس بالمتعة أطول، وتبصر شمسه أضوأ، وتجد ليله أهنأ…وما اختلفت في الحقيقة الأيام ذاتها، ولكن اختلف نظرنا إليها؛ نسينا في العيد متاعبنا فاسرحنا، وأبعدنا عنا آلامنا فهنئنا، وابتسمنا للناس وللحياة فابتسمت لنا الحياة والناس، وقلنا لمن نلقى أطيب القول: «كل عام وأنتم بخير» فقال لنا أطيب القول: «كل عام وأنتم بخير»

 

Artinya: “Hari-hari yang sama telah berlalu bersilih satu sama lain. Hampir tidak ada perbedaan antara hari satu dengan hari lain. Kemudian, datanglah lah hari ‘id yang engkau pasti merasakan tidak akan sama seperti hari-hari lain. Saat terik pagi dan siangnya engkau menemukan momen keindahan, engkau akan merasakan kenikmatan yang berkepanjangan, engkau akan melihat surya lebih terang, dan saat malam engkau akan menemukan sebuah kenyamanan. Sejatinya hari-hari memang tidak diciptakan pada unsur statusnya saja, akan tetapi yang berbeda adalah cara pandang terhadapnya. Pada saat hari ‘id sejenak kita lupa akan rasa lelah kita, sehingga kita merasa ringan akan kedatangannya. Kita merasa jauh dari rasa sakit kita, sehingga kita senang akan kedatangannya. Akhirnya, kita dapat tersenyum bersama orang-orang di sekitar kita pada hari itu. Lalu saling sapa dengan doa; setiap tahun semoga engkau selalu menetapi kebaikan.” (Ali Thantawi, Ma’a al-Nas, 261)

 

Secara identitas, hari raya Idul Fitri memiliki banyak terma. Salah satu titel yang representatif adalah hari kebahagiaan, karena umat Islam saat itu akan mengekspresikan momen ini dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan secara simultan dan antusias, berbeda dengan hari-hari biasa. Dalam sudut pandang agama, manifesto kebahagiaan dalam hari raya adalah sesuatu yang diserukan, sebab antara ekspresi bahagia dan agama memiliki relasi resiprokal satu sama lain, sebagaimana adagium yang masyhur:

 

أن إظهار السرور في الأعياد من شعار الدين

 

Artinya: “Sesungguhnya menampakkan ekspresi kebahagiaan pada hari-hari raya adalah sebagian rangka syi’ar (red: memuliakan) agama.” [Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari, 2/443]

 

Secara ontologis, kebahagiaan itu ibarat pisau bermata dua, adakalanya mendatangkan nilai positif dan ada kalanya negatif. Klasifikasi orientasi dalam mengekspresikan kebahagiaan terbagi sebagaimana berikut:

 

Pertama, kebahagiaan yang berorientasi pada sesuatu yang positif. Bahwa kebahagiaan yang dicintai oleh Allah SWT adalah kebahagiaan yang berlandaskan ilmu pengetahuan, Qur’an, dan regulasi agama Islam. Kebahagiaan itu diekspresikan dengan mengejawantahkan nilai-nilai positif, dan praktis untuk direalisasikan. Itulah yang disebut dengan hakikat menunaikan kebahagiaan atas anugerah Allah SWT. Hal ini mengandung makna, bahwa kebahagiaan yang dimanifestasikan pada hari kemenangan ini bukan bebas tanpa batasan, akan tetapi kebahagiaan itu haruslah tetap pada lajur barometer syara. [Ibnu Qayyim, Miftah Dar al-Sa’adah, 2/248]

 

Kedua, kebagiaaan yang berorientasi pada sesuatu yang negatif. Bahwa kebahagiaan yang ilegal adalah di saat sebagian manusia telah berasumsi, bahwa hari raya adalah momen membebaskan atas apa-apa yang dilarang sebelumnya. Fenomena yang marak terjadi pada momen ini adalah umat Islam menyemarakkan perayaan secara berlebihan, seperti euforia dan menghambur-hamburkan harta. Mereka menanamkan mindset, bahwa hari raya adalah ajang pembebasan dan balas dendam setelah satu bulan lamanya menahan sesuatu yang dilarang. Fenomena semacam ini tentu akan mendistorsi esensi hari raya itu sendiri. (Ibrahim bin Abdullah, Nadb al-‘Id, 24)

 

Bermula dari norma di atas, maka pesan mendalam bagi seluruh umat Islam pada momen Idul Fitri adalah agar dalam mengekspresikan kebahagiaan tidak boleh sampai melewati batas yang telah digariskan oleh agama. Sebab jangan sampai momen kemenangan dan kesucian ini menjadi momentum yang profan. Dari sini menjadi sangat perlu untuk menyelami nasihat inspiratif sebagai berikut:

 

العيد في حقيقته عيد القلب، فإن لم تملأ القلوبَ المسرَّةُ، ولم يترعها الرضا، ولم تعمها الفرحة، كان العيد مجرد رقم على التقويم

 

Artinya: “Pada hakikatnya, apa yang diistilahkan hari ‘id adalah ‘id kalbu (bersumber dari hati). Artinya, jika hati tidak terpenuhi oleh rasa kegembiraan, juga tidak memperhatikan apa-apa yang menjadi keridhaan-Nya, dan juga tidak diliputi oleh rasa senang akan momen ini, maka hari raya ‘id ini tidak lebih hanyalah deretan angka yang tercantum dalam kalender.” (Ali Thantawi, Suwarun wa Khawatir, 362)

 

Nasihat di atas menjadi fundamental untuk diejawantahkan dalam pesta Idul Fitri. Pesan implisit dari statemen di atas adalah spirit dalam merayakan momen Idul Fitri secara normatif dan proporsional, serta tidak paradoks dengan aturan-aturan agama, sehingga agar tidak mereduksi substansial dan sakralitas dari Idul Fitri itu sendiri.

 

Lebih dari itu, selain memperhatikan tatanan yang sifatnya personal, umat Islam dalam mengekspresikan kebahagiaan hari raya tidak boleh apatis dan egois. Umat Islam harus mengerti bahwa selain menaruh atensi pada dimensi spiritual, nilai penting yang termuat dalam hari raya adalah dimensi sosial. Umat Islam pada momen ini di sangat ditekankan untuk saling menebar kebahagiaan satu sama lain, baik yang bersifat material maupun immaterial. Hal ini dapat dipraktikkan dengan saling sapa, memaafkan, mendoakan, dan berderma. Sehingga, pada momen ini umat Islam akan melebur satu sama lain. Mereka sama-sama merasakan kebahagiaan dan saling melupakan status kelas sosial saat itu, baik kelas proletar maupun bangsawan.

 

Pada akhirnya, umat Islam perlu merevitalisasi semangat dengan optimal dalam menjaga amal-amal instens pada momen hari raya. Poin yang fundamental dalam hadirnya Idul Fitri adalah menyematkan catatan evokatif agar kaum Islam dapat menyiapkan lahir batin untuk komitmen berlaku baik secara kontinu. Sebab hakikatnya Idul Fitri adalah agar umat Islam eksis dalam menjaga sakralitas Ramadhan dengan mengaplikasikan amal-amal baik di luar Ramadhan secara berkesinambungan, alias menjadikan semangat ibadah pada bulan-bulan lain sebagaimana semangat ibadah pada bulan Ramadhan.

 

*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah, sekaligus santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Ngunut, Tulungagung.


Opini Terbaru