• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

NU, Pesantren, dan Gus Muwafiq

NU, Pesantren, dan Gus Muwafiq
Ahmad Dardiri Zubairi
Ahmad Dardiri Zubairi

Oleh: Ahmad Dardiri Zubairi*

 

Kasus Gus Muwafiq (GM) jadi pelajaran berharga bagi NU dan pesantren. Satu hal yang saya rasakan, NU dan pesantren dalam kasus GM dan kasus-kasus serupa sebelumnya seperti kehilangan mekanisme untuk merespons secara cepat tapi solid, sehingga masalahnya tidak menjadi liar.

 

Karena hilangnya mekanisme ini, pesantren kemudian mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri yang justru dijadikan mesiu oleh pihak-pihak yang selama ini sebenarnya berseberangan dengan NU dan pesantren. Sementara NU meski mungkin bisa secara cepat merespons (faktanya tidak) tapi tanpa melibatkan pesantren, keputusannya tidak akan ligitimet. Ini tentu tak menguntungkan, karena justru bisa makin menjauhkan pesantren dan NU.

 

Di NU memang ada Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) yang dulu badan otonom (Banom), tapi kemudian dijadikan lembaga. Perubahan itu bisa dimaklumi, karena kalau statusnya Banom, bisa tidak sejalan dengan NU, persis seperti beberapa Banom selama ini. Tetapi perubahan RMI menjadi lembaga ternyata tidak cukup menampung kekayaan dan dinamika pesantren yang demikian besar. Ibarat memasak nasi, yang mau dimasak 10 kg beras, pancinya cuma muat 3 gelas beras.

 

Maka jalan keluarnya, kembalikan RMI menjadi Banom. Jika khawatir Banom tidak sejalan dengan NU, maka batasi independensi Banom, atur AD/ART agar senafas dengan AD/ART NU. NU sebagai sebuah organisasi besar barisannya memang harus rapi. Banom tentu tak boleh leluasa mengambil keputusan sendiri atas nama independensinya sebagai Banom dengan alasan punya AD/ARTt sendiri. AD/ART Banom harus sehaluan dengan NU. Biar tidak berjalan sendiri-sendiri.

 

Jika RMI menjadi Banom, diharapkan lebih cepat dan mobil mengonsolidasi pesantren, termasuk juga dalam merespons isu-isu keagamaan, kerakyatan, dan kebangsaan. Tentu dalam isu-isu yang menyita perhatian publik, RMI harus disupport oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sehingga NU dan pesantren bisa satu suara menyikapi berbagai isu dengan model silaturahim yang gayeng khas NU.

 

Bayangan saya dalam kasus GM, PBNU (melalui RMI) mengundang pengasuh-pengasuh pesantren dalam satu kegiatan secara tertutup. Panggil GM, bahas kasusnya, kalau perlu dijewer, jewerlah GM, buat rekomendasinya, dan publikasikan ke publik.

 

Di bulan Gus Dur ini, saya ingat dawuhnya, "NU adalah pesantren besar, sementara pesantren adalah NU kecil."

 

Semoga di Muktamar NU Lampung 2020, soal hubungan pesantren dan NU betul-betul dikaji dan dimusyarahkan secara serius.

 

*Penulis adalah Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Sumenep, Jawa Timur.
 


Editor:

Opini Terbaru