Oleh: Moh Rifqi Rahman *)
Baru-baru ini telah terjadi kasus perundungan siswa yang terjadi di Binus School Serpong. Sejauh ini telah terjadi dua kasus perundungan di sekolah ini. Diawali oleh terbongkarnya perundungan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), perundungan di tingkat Taman Kanak-kanak (TK) juga menyusul terjadi di sekolah Binus School Serpong ini. Ada apa dengan sekolah ini? Mengapa perundungan menjadi tumbuh subur di halamannya?
Geofakta Razali menyampaikan kekecewaannya terkait kasus ini (Jawa Pos, 21 Februari 2024). Ia menyayangkan mengapa sekolah dengan fasilitas mewah dan biaya mahal seperti Binus School Serpong ini justru tidak mampu memberikan jaminan atas pendidikan berkualitas tinggi dan lingkungan belajar yang aman bagi siswa.
Lebih lanjut, Geofakta Razali mengusulkan integrasi pendidikan karakter dalam setiap aspek pembelajaran. Teknik implementasinya adalah melalui optimalisasi peran guru. Para guru diharapkan tidak hanya menjadi pengajar semata melainkan juga sebagai mentor inspiratif bagi siswa untuk berkembang menjadi individu berani secara moral dan empati.
Solusi ini sejatinya masuk akal, meski di sisi lain cenderung pragmatis. Sejatinya, masalah perundungan merupakan masalah yang kompleks (Coyle dkk., 2021). Faktor-faktor yang menjadi latar belakang munculnya perundungan pun dapat berupa latar belakang individu itu sendiri, keluarga, sekolah, dan kondisi sosial yang dengan pelaku perundungan (Wen dkk., 2020). Artinya, jika hanya menyerahkan sepenuhnya pada sekolah untuk mengatasi masalah perundungan ini, maka solusi yang muncul nanti hanyalah solusi yang parsial dan kurang komprehensif.
Selain itu, pendidikan tentu bukan hanya tentang sekolah. Pendidikan tidak dapat disederhanakan sebagai sekadar proses yang terjadi di dalam lingkup fisik sebuah institusi sekolah dengan segala fasilitasnya. Membatasi pandangan pendidikan hanya pada konteks tersebut justru akan mengarah pada pemahaman yang terbatas dan mendistorsi esensi dari pendidikan itu sendiri.
Jika terus memandang pendidikan hanya sebatas institusi sekolah, maka sekolah akan terus menjadi sasaran utama kritik setiap ada isu negatif seperti perundungan. Meskipun penting bagi sekolah untuk bertanggung jawab atas kasus perundungan, namun menyalahkan sekolah secara eksklusif bisa dianggap kurang objektif. Hal ini cenderung menyudutkan sekolah sebagai satu-satunya sumber masalah.
Benar bahwa orang tua telah membayar mahal agar anak-anak mereka dapat belajar di lingkungan sekolah yang aman. Namun, jika uang menjadi satu-satunya tolak ukur kualitas pendidikan, maka peran orang tua dalam membentuk karakter anak-anak bisa terabaikan. Pendekatan semacam itu membuat pendidikan terlihat seperti transaksi komersial, sekolah berperan sebagai penjual dan orang tua sebagai pembeli.
Bagaimana solusi yang komprehensif?
Solusi yang komprehensif dapat terwujud apabila sekolah tidak dibiarkan mandiri dalam penanganan kasus perundungan ini. Kondisi sekolah memang wajib ideal. Namun, idealitas ini akan menjadi percuma jika tidak ada yang menyambut untuk melanjutkan. Oleh sebab itu, pihak-pihak seperti keluarga dan masyarakat perlu dioptimalkan perannya, mengingat antara keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan satu kesatuan sebagai tripusat pendidikan.
Oleh sebab itu, tawaran solusi komprehensifnya adalah keluarga dan masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam meneruskan idealitas yang sudah sekolah lakukan. Misalnya, nilai-nilai karakter yang diinternalisasikan di sekolah harus ditampilkan pula dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Baik lingkungan keluarga maupun masyarakat harus bersinergi dengan sekolah. Dengan demikian, antara keluarga, sekolah, dan masyarakat harus benar-benar menjadi tripusat pendidikan sebagaimana amanah bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara.
Ilustrasi imajinatifnya bisa sangat sederhana. Misalnya, seorang anak di sekolah secara intensif dididik untuk mandiri dan bertanggung jawab. Namun ketika pulang ke rumah, orang tua memanjakan anak tersebut. Atau seorang anak dididik untuk disiplin berlaku sopan terhadap sesama. Namun ketika perjalanan pulang dari sekolah, anak dipertontonkan pergaulan masyarakat yang sedemikian rupa kasar dan jauh dari kata sopan. Demikianlah. Hanyalah sia-sia jika antara keluarga, sekolah, dan masyarakat berdiri sendiri-sendiri, tidak bersinergi.
Sesuai dengan namanya, tripusat pendidikan menyuguhkan gagasan integral antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Konsekuensinya adalah jika seorang anak melakukan hal menyimpang –meski terjadi di sekolah– maka diagnosisnya tidak serta merta hanya mengarah pada sekolah semata. Diagnosis tentang bagaimana pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakatnya sangat penting untuk menarik benang merah mengapa anak tersebut sampai melakukan penyimpangan.
Demikian juga dengan konteks kasus perundungan di Binus School Serpong. Identifikasi dari mana kebiasaan perundungan itu didapatkan oleh anak, apakah memang dari sekolah, atau justru keluarganya sendiri, atau lingkungan masyarakatnya harus dilakukan. Serta mengapa anak tersebut menjadikan sekolah sebagai tempat mengekspresikan perundungan juga patut digali, apakah memang karena lingkungannya memungkinkan, atau karena sesuatu yang lain. Jika hal ini dapat ditelusuri maka solusinya tentu akan lebih mengena.
Adalah tidak adil adanya jika solusi kemudian dilimpahkan sepenuhnya pada guru melalui tuntutan peran ganda (pengajar dan mentor) sebagaimana usulan Geofakta Razali sebelumnya. Namun, jika guru harus berperan ganda sekalipun maka sebenarnya lingkungan keluarga dan masyarakat harus juga segera berbenah, mensinergikan kondisi dengan apa yang sudah diusahakan sekolah.
Sekolah tidak dapat berdiri sendiri untuk mengemban tugas pendidikan ini. Pendidikan di sekolah terbatas pada ruang dan waktu. Di luar itu, pendidikan juga berada di bawah tanggung jawab keluarga dan masyarakat secara simultan. Berdasarkan ini maka jelas bahwa sinergi tripusat pendidikan masih sangat relevan untuk diaktualisasikan.
*) Moh Rifqi Rahman, Dosen di Institut Al Azhar Menganti Gresik dan alumnus S3 Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.