• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Memaknai Gerakan Pasang 98 Juta Bendera NU

Memaknai Gerakan Pasang 98 Juta Bendera NU
Ayo sukseskan pengibaran 98 juta bendera NU. (Foto: NOJ/SPa)
Ayo sukseskan pengibaran 98 juta bendera NU. (Foto: NOJ/SPa)

Manusia adalah insan simbolik (homo symbolicum). Itulah perkataan neo-Kantian Jerman Ernst Cassirer, yang layak menjadi pikiran mengawali tulisan ini berkaitan dengan ‘Gerakan Pasang 98 juta Bendera NU’. Pesannya, bahwa Cassirer menegaskan bahwa manusia bukan hanya soal ide, gagasan dan fisik, tapi ada juga simbol yang bergeliat dari diri dan di luar dirinya dalam kehidupan sehari-hari, baik isu-isu budaya, agama hingga pendidikan.

 

Karenanya sebagai makhluk simbolik, maka banyak pesan seseorang/kelompok yang berbentuk keinginan kepada yang lain, bahkan hingga persoalan ideologis sengaja tidak disampaikan melalui ide dan gagasan atau juga secara fisik. Pesan-pesan itu kemudian sengaja disampaikan melalui simbol sehingga singkat, padat makna dan mudah dipahami.

 

Dari pokok pikiran di atas, maka bendera negara mana pun atau kelompok tertentu bukanlah hanya soal kain dengan ukuran dan warna atau gambar tertentu. Bendera memuat simbol tentang kekhasan bentuk, sekaligus nilai yang berhubungan dengan jati diri simbol itu dimaknai untuk dijadikan paradigma hidup dalam gerak.

 

Cukup beralasan, bila orang, kelompok atau negara marah-marah, bila benderanya dirobek dengan tujuan menghina. Dalam konteks bernegara, bendera merupakan simbol yang penting sehingga siapa pun yang sengaja menghina dengan cara apa pun akan dihukum. Bukan hanya itu, bendera kelompok tertentu yang dihina akan memicu konflik yang tidak bisa dihindarkan.

 

Itu artinya, bendera bukan sekadar fisik dengan warna dan gambar tertentu, tapi berkaitan dengan jati diri orang, kelompok atau negara. Menghina bendera sebagai simbol sama halnya menghina jati diri. Dengan begitu, bendera tidak bisa dilihat secara fisik, tapi perlu dimaknai sebagai simbol dari jati diri, paradigma dan nilai-nilai tertentu yang telah menjadi kesepakatan untuk diperjuangkan.

 

Ajakan pasang bendera NU dengan jumlah 98 juta di rumah, kantor, sekolah, pesantren dan akun media sosial tanggal 14 hingga 16 Rajab 1442 H atau 26 sampai 28 Februari 2021 M, yang serentak melalui pesan pendek media sosial bukanlah ajakan sekadar membanggakan diri. Tapi, ada makna yang ingin disampaikan kepada khalayak seluruh Nusantara berkaitan dengan makna komitmen NU bagi Islam Ahlussunnah wal Jama'ah atau Aswaja dan kebangsaan bersamaan dengan hari lahir ke-98 NU dalam hitungan hijriah. 

 

Makna Pasang Bendera

Makna simbolis-ideologis dari memasang bendera adalah menyerukan kembali akan pentingnya berpikir dan membumikan Aswaja sebagaimana tersimbolkan dari bola bumi, tali atau tambang yang mengelilingi bola, peta Indonesia. Juga dua simpul ikatan di bagian bawah, untaian tampar tambang, dan jumlah bintang 9 dengan makna beragama (4, 4, 1, dan 9).

 

Manifestasi nilai-nilai Aswaja NU dalam kehidupan beragama dan berbangsa adalah menjadikan moderasi/tawassuth sebagai landasan berpikir dan bergerak. Dalam konteks ini, bertawassuth harus dimanifestasikan dalam berakidah, bersyariah, bertasawuf dan berbangsa-bernegara. Yang bila diperas berkaitan dengan beragama dan berbangsa.

 

Dengan mengutip pokok-pokok pikiran KH Achmad Siddiq (1980) yang ditulis di Majalah AULA, NO 4 TH II, 1400 H/1980 M, pertama, tawassuth dalam beragama adalah dengan tetap pada pendirian agar seimbang dalam menggunakan akal dan naqli, tidak mudah memvonis musyrik dan kafir, menggunakan tradisi istimbatul ahkam yang wajar dan bisa dipertanggung jawabkan sebagaimana mafhum dilakukan kalangan ulama Aswaja.

 

Di samping itu, harus pula membiasakan riyadlah dan mujahadah dengan cara yang diajarkan Islam, mencegah estrimisme (al-ghuluwwu),dan senantiasa berpegang pada akhlak yang luhur dengan selalu berada di antara ujung sikap berlebih-lebihan (tatharruf). Yakni tidak terlalu ke kanan yang berujung pada radikal, atau tidak terlalu ke kiri yang berujung pada liberal.

 

Sementara itu, kedua dalam konteks berbangsa dan bernegara. Bertawassuth dalam bernegara, menurut Kiai Achmad Siddiq adalah tetap setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan kesepakatan pada pendiri (the founding fathers), keharusan taat kepada pemimpin yang sah sepanjang tidak bertentangan dengan agama dan tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Hal itu sebagai bentuk komitmen pada spirit amar ma’ruf nahyu anil munkar.

 

Di samping bertawassuth dalam berbangsa dan bernegara, dalam berkebudayaan juga harus selektif; setidaknya harus menjadikan semangat al-muhafadah ala qadim al-Shalih walakhdu dijadidil ashlah sebagai landasan pikir, menilai dan memutuskan. Artinya, datangnya budaya baru tidak dengan mudah menggeser kita untuk meninggalkan kebaikan yang telah dilakukan bertahun-tahun, bahkan turun temurun.

 

Berbudaya secara tawassuth menjadi jalan agar kita tidak mudah tergerus dari budayanya sendiri. Pastinya, sepanjang budaya itu tidak benar-benar bertentangan dengan nilai Islam sehingga mereka yang terlibat dalam berdakwah tidak usah –atau bahkan wajib—menggunakan cara-cara yang elegan dengan memperhatikan kemaslahatan. Hindari semangat berdakwah, yang ujung-ujungnya kurang memperhatian fakta kebudayaan audiennya yang harmoni.

 

Itulah pokok pikiran yang penting dan harus menjadi perhatian bersama di tengah gerakan memasang 98 juta bendera NU. Artinya, kita melihat pesan massif gerakan ini adalah ajakan kepada semua pihak dalam rangka agar prinsip-prinsip moderasi menjadi paradigma hidup beragama dan berbangsa. Mengingat ideologi transnasional ---baik dari Barat maupun Timur--- sulit dibendung, apalagi kita berada di tengah era digital dan era post-truth.

 

Pada akhirnya, mari kita jadikan Harlah ke-98 NU dan gerakan memasang 98 juta bendera NU sebagai pemantik kesadaran untuk lebih nyata menjaga NKRI dari anasir apa pun yang merusak dan berpotensi memecah belah sesama anak bangsa. Sudah saatnya, agama menjaga pengikat spiritual dan bangsa sebagai landasan bersama agar tetap harmoni dalam kebinekaan. Semoga kita selalu dalam semangat dan teladan pendiri bangsa dalam mencintai bangsa ini, terlebih warisan teladan dari para muassis atau pendiri NU.

 

Wasid Mansyur adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP)  Ansor dan Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jatim.

 


Editor:

Opini Terbaru