• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 30 Juni 2024

Tokoh

Jejak Pemikiran Feminisme Buya Husein Muhammad

Jejak Pemikiran Feminisme Buya Husein Muhammad
KH Husein Muhammad. (Foto: NOJ/ Istimewa)
KH Husein Muhammad. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Oleh: Muhammad Faishol Hamim

 

KH Husein Muhammad lahir pada 9 Mei 1953 di Arjawinangun Cirebon. Ia dibesarkan dalam keluarga pesantren, ayahnya adalah Kiai Muhammad bin Asyarofuddin berlatarbelakang keluarga biasa namun berpendidikan pesantren. Ibunya, yakni Nyai Ummu Salma Syatori, merupakan putri pendiri Pondok Pesantren Dar al-Tauhid.

 

Pendidikannya dimulai di Sekolah Dasar dan Pendidikan Diniyah di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, dan menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1966. Selanjutnya, melanjutkan ke SMP Negeri 1 Arjawinangun dan lulus pada tahun 1969. Setelah lulus SMP, ia berhijrah ke Jawa Timur, tepatnya nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo selama 3 tahun.

 

Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) di Jakarta, sebuah institusi yang mengkhususkan diri dalam studi Al-Qur’an dan mewajibkan mahasiswanya untuk menghafal Al-Qur’an. Saat belajar di PTIQ, Kiai Husein menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya pada tahun 1980.

 

Setelah meraih gelar sarjana dari PTIQ, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas al-Azhar di Mesir. Di universitas keislaman tertua di dunia ini, ia tidak hanya belajar di kelas, tetapi juga berguru kepada ulama-ulama besar di berbagai bidang ilmu keagamaan. Buya Husein Muhammad, demikian ia akrab disapa, juga mendalami karya-karya pemikir besar seperti Qosim Amin, Ahmad Amin, serta filsafat Barat yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, seperti karya-karya Nietzsche, Sartre, dan Albert Camus.

 

Kesadaran Husein Muhammad mengenai isu feminisme dan gender mulai tumbuh ketika ia menghadiri sebuah seminar tentang "Perempuan dan Pandangan Agama-Agama" pada tahun 1993. Dalam seminar tersebut, ia menyadari bahwa perempuan menghadapi berbagai masalah di Indonesia.

 

Pertemuan dengan Masdar Farid Mas'udi, seorang tokoh yang sangat mempengaruhi pandangannya tentang isu gender, menjadi titik balik dalam hidupnya. Sejak saat itu, Buya Husein mulai memahami berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dan terdorong untuk mengurai masalah-masalah tersebut menggunakan pendekatan ilmu agama yang telah dipelajari selama pendidikannya.

 

Menurut Buya Husein, perempuan tidak hanya sekadar tubuh yang bisa dieksploitasi, melainkan juga ruh dan jiwa manusia. Ia menolak patriarki karena Islam sejatinya mengajarkan tauhid, yang berarti menolak penghambaan kepada selain Allah SWT. Dengan semangat tauhid ini, manusia, termasuk perempuan, dibebaskan dari segala bentuk kerendahan, subordinasi, diskriminasi, dan penindasan.

 

Teologi yang ditulis oleh Husein Muhammad menempatkan perempuan sebagai manusia yang terhormat, bebas, mandiri, dan adil. Keadilan di sini bukan hanya terkait dengan tubuh, tetapi juga mencakup nilai, substansi, dan kualitas.

 

Buya Husein melakukan perlawanan dan pembelaan di tengah budaya dan wacana pesantren yang menyebabkan ketidakadilan dan subordinasi terhadap perempuan. Pemikirannya tertuang dalam karya-karyanya, sehingga ia dikenal sebagai feminis Islam. Kesadarannya akan ketertindasan perempuan mendorongnya untuk menciptakan wacana tandingan yang berakar pada keilmuan pesantren.

 

Dalam konteks budaya dan nilai-nilai hidup pesantren, laki-laki, kiai, dan pembela hak-hak perempuan menjadi aset penting untuk menyebarkan gagasan dan gerakannya dalam membela perempuan. Usaha Buya Husein Muhammad ini mendukung perjuangan aktivis perempuan. Ia adalah seorang feminis laki-laki yang menyadari ketimpangan dan ketidakadilan gender, serta menjadi sahabat dalam menyebarkan gagasan di kalangan pesantren.

 

Buya Husein menggagas penemuan wilayah baru dalam kajian kitab klasik dengan pendekatan gender, memungkinkan pemahaman teks-teks klasik dari perspektif perempuan dan menemukan makna yang selama ini terabaikan.

 

Dalam bukunya "Fikih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender", ia mengkritik penafsiran tradisional Al-Qur'an dan hadis yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Ia juga mengusulkan konsep “Maskulinitas Profetik” sebagai alternatif maskulinitas tradisional yang patriarkis, yang berlandaskan nilai-nilai kenabian seperti kasih sayang, keadilan, dan kesetaraan.

 

Gagasannya tentang feminisme Islam dan maskulinitas profetik memberikan kontribusi penting bagi pemikiran Islam di Indonesia, memperluas wawasan umat tentang kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan, serta menyoroti pentingnya pembahasan kesehatan reproduksi perempuan sebagai isu kemanusiaan.

 

Dalam menyakapi permasalahan tersebut Husein Muhammad menggunakan beberapa metode yakni menjadikan tujuan syariah (maqashid al-syari’ah) sebagai dasar utama penafsiran, menganalisis aspek sosio-historis (al-siyaq al-tarikhi al-ijtima’iy) dari kasus dalam teks, melakukan analisis bahasa dan konteksnya (al-siyaq al-lisani), mengidentifikasi aspek kausalitas dalam teks untuk kebutuhan konteks sosial baru, melakukan analisis kritis terhadap sumber transmisi hadis (takhrij al-sanaid) dan kritik isinya (naqd al-matn).

 

Bukan hanya pemikiran saja, ia juga turut terlibat langsung di lapangan. Buya Husein adalah pendiri Fahmina Institute pada November 2000, sebuah lembaga yang aktif dalam isu-isu perempuan. Bersama Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, ia mendirikan Puan Amal Hayati, yang juga menyoroti masalah perempuan. Pada tahun yang sama, ia mendirikan RAHIMA Institut dan memulai Forum Lintas Iman.

 

Tiga tahun berikutnya, ia menjadi Tim Pakar Indonesia Forum of Parliamentarians on Population and Development. Pada tahun 2005, ia bergabung dengan The Wahid Institute Jakarta. Selain itu, beliau juga terlibat dalam National Board of International Center for Islam and Pluralisme (ICIP), serta banyak inisiatif lainnya dalam karier sosialnya.

 

Jalan pemikirannya banyak menghasilkan karya-karya antara lain: Islam Agama Ramah Perempuan. Fikih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Ijtihad Kiyai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender. Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan (Inspirasi dari Islam & Perempuan). Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai, Wajah Baru Relasi Suami-istri: Telaah Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn. dan masih banyak lainnya.

 

*) Muhammad Faishol Hamim, Alumnus Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang dan UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.


Tokoh Terbaru