• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Guru dan Tantangan Keteladanan dalam Literasi

Guru dan Tantangan Keteladanan dalam Literasi
Guru adalah teladan nyata atau role model bagi siswa-siswanya, termasuk dalam literasi. (Foto: NOJ/RJ.id)
Guru adalah teladan nyata atau role model bagi siswa-siswanya, termasuk dalam literasi. (Foto: NOJ/RJ.id)

Oleh: Muashofa Efida, S.Si., Gr.

 

"Menulis adalah pekerjaan dalam keabadian." Saya kerap menuliskan kalimat ini. Bagi saya, menulis adalah suatu keindahan tersendiri yang terlihat elegan. Menulis bukan lagi sebagai pilihan, namun suatu kebutuhan. Apalagi bagi profesi guru, aksara seolah menjadi kawan pengisi hari-hari. Guru wajib melek aksara, melek literasi, dan menulis adalah bagian dari literasi.


Sebagian kelompok mengatakan bahwa menulis adalah candu, namun sebagian kelompok lain mengatakan bahwa menulis adalah berat. Kedua kalimat ini benar adanya, tinggal bagaimana cara mengolahnya supaya menjadi ritme yang indah. Menulis memanglah sebuah pekerjaan yang 'berat', namun berat itu letaknya di awal, terakhir berat telah dibawa oleh Dilan.


Tangan harus berani menggoyangkan pena untuk menorehkan aksara. Ketika kata demi kata telah berhasil dituliskan, maka tanpa sadar kenikmatan menulis akan hadir dengan sendirinya. Seketika kata berat akan menghilang dan digantikan oleh kata candu. Di sinilah menulis menjadi suatu kebutuhan sekaligus mengubah peradaban.


Guru sebagai kaum berpendidikan yang sangat dekat dengan membaca dan menulis, tak lain rutinitas ini adalah bagian dari literasi. Namun sayangnya, masih banyak guru yang enggan untuk bergulat dengan aksara. Berbagai alasan pun meluncur, yang tak lain sebenarnya satu kata saja, yaitu malas. Pada hakikatnya, ketika ada kemauan untuk menulis, tak akan ada lagi kesulitan dengan sejuta alasan.


Ironisnya, budaya enggan berliterasi harus bertabrakan dengan tujuan pendidikan yang menuntun siswa untuk menjadi literat. Alhasil, seperti peribahasa tong kosong nyaring bunyinya, guru pandai menyuruh siswanya berliterasi sedangkan dirinya sendiri kabur dari literasi. Tentu hal ini menjadi suatu kegagalan dalam pendidikan dan tidak mungkin terwujud siswa literat. Bagaimana sejatinya guru menuntun siswa untuk menjadi literat?


Memaknai Literasi

Literasi dalam makna sederhana artinya membaca dan menulis. Makna literasi berkembang tidak hanya sebatas membaca dan menulis, namun ada literasi sains, matematika, hukum, digital, teknologi, informasi, perpustakaan, dan sebagainya. Dengan kata lain, literasi adalah melek. Bahwa dengan literasi, manusia akan melek atau paham dengan bidang dan kondisi tertentu, melek sains, matematika, teknologi, digital, dan sebagainya. Pada intinya, literasi adalah kegiatan membaca, berpikir, lalu menulis.


Literasi menjadi suatu topik perhatian pemerintah, yang melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI digulirkan Gerakan Literasi Nasional. Kebijakan ini terlahir sebagai bentuk keprihatinan dengan kondisi generasi emas Indonesia. Data dari Programme for International Student Assessment atau PISA terkait literasi sains dan matematika, anak Indonesia menempati posisi nomor 38 dari 40 negara. Predikat ini menjadi suatu pukulan besar untuk bagi pendidikan di negeri ini. Keprihatinan semakin bertambah tatkala data UNESCO menunjukkan bahwa minat baca orang Indonesia hanya 0,001 yang artinya hanya 1 dari 1000 orang. Data ini pula yang menjadi alasan untuk perubahan kebijakan Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kebijakan-kebijakan tersebut diluncurkan dalam upaya menciptakan budaya literasi di Indonesia.


Menciptakan budaya literasi adalah salah satu langkah strategis dalam mewujudkan generasi emas menyambut Indonesia emas untuk meraih bonus demografi. Apabila terbentur pada kegagalan budaya literasi, maka bukan lagi bonus demografi yang didapat, melainkan bencana demografi. Inilah yang wajib disikapi oleh institusi pendidikan, utamanya guru sebagai motor pendidikan. Bagaimanapun, institusi pendidikan menjadi tempat utama yang diyakini dalam melahirkan kaum literat.


Pada negara maju, literasi membaca dan menulis menjadi bagian utama untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas. Bangsa yang maju dilihat bagaimana kecerdasannya karena akan terbentuk melalui budaya membaca untuk mendapatkan informasi. Selanjutnya bagaimana informasi tersebut diolah untuk diproses dan disampaikan dalam bentuk tertulis maupun lisan. Semakin banyak suatu warga negara yang giat mencari dan menggali informasi serta ilmu pengetahuan, maka peradabannya akan semakin maju.


Budaya literasi menjadi salah satu bagian dari upaya untuk mengajarkan kompetensi abad 21 kepada siswa. Budaya literasi akan menciptakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang merangsang untuk berpikir kritis, menciptakan kreativitas, kemudahan untuk mengomunikasikan, dan berkolaborasi. Kompetensi ini akan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang berdaya saing global.  Siswa yang tidak memiliki kompetensi abad 21 tidak akan memiliki daya saing.


Keteladanan sebagai Kunci

Belajar dilakukan melalui proses membaca dan mendengar informasi, maupun mengamati dan mengalami kejadian nyata yang ada dalam kehidupan. Guru sebagai akademisi yang setiap harinya mentransfer ilmu kepada siswanya, tidak sekadar memberikan pembelajaran secara tertulis dan lisan, namun yang lebih penting adalah melalui keteladanan. Bagaimanapun juga, guru adalah teladan nyata (role model) bagi siswa-siswanya.


Guru melahirkan generasi masa depan yang akan bisa mengubah peradaban. Maju tidaknya suatu negara sangat dipengaruhi oleh bagaimana seorang guru mengajar dan mendidik siswanya. Untuk melahirkan generasi unggul, kompeten dan berkualitas, tentu dibutuhkan guru yang juga berkualitas. Melahirkan siswa yang literat tentu dibutuhkan seorang guru yang juga literat. Guru literat tidak sekadar bisa mengajarkan teori, namun juga memberikan aksi nyata dalam literasi sebagai bentuk keteladanan.


Saat ini, literasi menjadi perhatian utama dalam pendidikan. Bahwa literasi akan mengubah pola pikir dan perilaku seseorang dalam menyikapi segala permasalahan hidup. Literasi menjadi tanggung jawab semua guru, tidak hanya guru bahasa Indonesia yang seakan identik dengan literasi. Pengajaran literasi bisa dilakukan dalam kegiatan pembelajaran di dalam maupun luar kelas, dan keteladanan seorang guru. Kegiatan pembelajaran bisa dilakukan dengan cara mengkaji wacana dan mengamati peristiwa nyata dalam kehidupan terkait topik pelajaran. Siswa memproses informasi yang didapat untuk dianalisis dan disampaikan secara lisan dan tulisan.


Keteladanan berliterasi juga bisa dilakukan dalam kegiatan di luar kelas. Guru bisa mengajak siswanya untuk mengaktualisasi dirinya melalui karya fiksi maupun non fiksi yang ditempel dalam majalah dinding (mading) sekolah. Siswa bisa menuliskan puisi, cerpen, atau artikel terkait diri dan lingkungannya. Peserta didik juga bisa membuat reportase kegiatan sekolah untuk ditempel di mading atau mungkin diupload di website, dan bisa juga dikirim ke redaksi. Kegiatan literasi lainnya yang bisa dilakukan yaitu dengan mengamati permasalahan yang muncul di lingkungan sekolah, contoh permasalahan sampah botol air mineral. Guru mengajak siswa untuk mencari solusi cerdas dalam mengolah limbah botol plastik. Secara tidak langsung, kegiatan ini akan mengasah kreativitas dan kemampuan berpikir kritis.


Namun, keteladanan literasi akan menemukan kendala tatkala keteladanan tersebut hanya terbatas pada lisan tanpa adanya suatu aksi nyata dari guru. Sebelum guru menuntun siswanya menjadi literat, maka yang bersangkutan harus literat terlebih dahulu. Guru harus bisa memberikan solusi dalam permasalahan kehidupan sebelum menyuruh siswanya membuat solusi atas suatu masalah. Guru harus bisa menulis sebelum menyuruh siswanya untuk menulis. Banyak media untuk guru menempa ilmunya terkait kepenulisan dan banyak juga sarana bagi guru menuangkan hasil karya tulisnya. Guru bisa memanfaatkan website dan blog untuk menulis, menjadi kontributor pada suatu website atau redaksi, maupun melahirkan buku. Karya guru yang terbit akan menjadi saksi nyata terkait keteladanan guru dalam berliterasi.


Bagaimanapun juga, mengajar dimulai dari mengajar diri sendiri. Sebelum mengajar siswanya, maka guru harus bisa mengajar dirinya sendiri. Guru akan mulia karena karya. Karya-karya guru akan menjadi rekam jejaknya dalam melakukan perjuangan untuk pendidikan Indonesia. Jika manusia hanya memiliki usia puluhan tahun saja, maka seorang penulis akan memiliki usia ratusan bahkan ribuan tahun selama karyanya masih dinikmati pembaca.

 

Muashofa Efida adalah Guru Kimia di SMK Plus Nahdlatul Ulama Sidoarjo


Editor:

Opini Terbaru