Pernahkah merasa bahwa bersama keluarga adalah kemewahan? Pasti itu dirasakan oleh siapapun yang sedang mendapatkan amanah jabatan yang semakin tinggi. Pada jenis pekerjaan apapun. Lalu, menghabiskan waktu bersama keluarga adalah harga mahal yang harus dibayar. Sebagai kompensasi atas beban pekerjaan yang makin tinggi. Yang kerap harus meninggalkan keluarga. Sebagai akibat penunaian tugas jabatan yang makin padat nan berat. Maka, saat keluarga dalam formasi lengkap, menghabiskan kebersamaan adalah bagian dari solusi memperkuat ikatan keluarga. Strengthening family bonds, istilah Baratnya.
Petang itu, Sabtu (30/09/2023), aku baru saja meninggalkan Hotel Vasa Surabaya. Meeting bersama Prof Noor Ahmad. Ketua Baznas RI, yang sedang bertugas di Surabaya menghadiri undangan Bank Indonesia. Dalam merayakan Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Regional Jawa 2023. Seusai meeting itu, saya pun bergegas ke Mal Pakuwon di Surabaya Barat. Tidak jauh dari lokasi hotel. Istri dan kedua anak saya sudah sebelumnya berada di mal terbesar se-Asia itu. Untuk healing tipis-tipis. Menghabiskan waktu bersama. Dan sekaligus mengisi kebersamaan itu.
Sesampaiku di mal tersebut, kami berempat bertemu. Lalu menuju resto untuk makan malam. Nama restonya, Aroma Padang. Tagline-nya, Tambuah Ciek. Makna Indonesia, tambah lagi. Itu ungkapan yang kerap digunakan untuk menunjukkan kesukaan pada masakan yang disediakan. Cara mengungkapkan ekspresi itu adalah dengan kembali memesan makanan dan minuman yang disukai. Frase “Tambuah Ciek” menunjuk kepada hasrat untuk menambah makanan dan minuman kembali akibat kesukaan yang tak terbendung.
Pesanlah kami makanan dan minuman untuk makan malam itu. Masing-masing kami mengekspresikan kesukaan dengan memesan makanan dan minuman sesuai selera yang dimiliki. Sesuai kesukaan masing-masing. Tak lama berselang, makanan dan minuman yang kami pesan datang. Lengkap. Lalu, anak pertamaku mengungkapkan kesukaannya pada kerupuk putih. Yang lebih terkenal dengan istilah Kerupuk Palembang. “Mas, bisakah saya diambilkan kerupuk itu?” begitu tanya anakku untuk meminta tambahan makanan. Dia ungkapkan kalimat itu sambil menunjuk ke toples kerupuk yang tak jauh dari tempat pelayan lelaki itu berdiri.
“Oh boleh. Saya ambilkan.” Demikian jawab tangkas pelayan lelaki itu. Aku dan istri serta anak keduaku menyaksikan langsung bagaimana lelaki itu memberikan pelayanan terbaiknya kepada anak pertamaku. Menyaksikan langsung bagaimana komunikasi dia lakukan. Termasuk bahasa dan kalimat yang dia ungkapkan. Lalu dia menyodorkan sekantong kerupuk putih itu ke anak pertamaku. “Makasih ya Mas!” ungkap anakku dengan segera begitu sekantong kerupuk itu diberikan kepadanya. Itu dilakukan sebagai ungkapan apresiasi dan terima kasih atas layanan cepat yang diberikan pelayan lelaki itu. Pelayan itu pun lalu kontan menjawab: “Oh ya sama-sama, Mbak.”
Belum juga anakku itu menerima sekantong kerupuk dari tangan pelayan lelaki itu, sang pelayan lalu menyampaikan ungkapan tambahan: “Mbak, bolehkan saya bantu membukakan karetnya”?” Kalimat itu dia ucapkan untuk memudahkan pengambilan krupuk dari plastiknya. Dengan cara mengambil karet pengikat kantong plastik krupuk itu. “Oh nggak usah Mas. Biar saya buka sendiri aja. Makasih ya.” Demikian jawab anakku segera sambil meminta sekantong kerupuk itu diberikan segera kepadanya. “Oh baik, Mbak!” jawab pelayan lelaki itu untuk memenuhi permintaan anak pertamaku itu.
Pelayan lelaki itu sangat santun dalam melayani konsumen. Bahkan, saat memberikan tawaran untuk membukakan karet pengikat kantong plastik kerupuk itu, dia menggunakan kalimat yang sangat halus dan sangat sopan sekali. Kesantunan berbahasanya sangat terjaga sekali. Gerak tubuhnya mengisyaratkan kesantunan yang tinggi. Bahkan, intonasi yang digunakan pun sangat rendah dan cenderung kalem. Tak terdengar kata yang diucapkan bernada tinggi. Tak ada kalimat yang disampaikan dengan suara keras-meninggi. Dan tak ada gerak bibir dan tubuh yang menunjukkan keangkuhan. Semua dilakukan dengan penuh sopan. Plus santun dan penuh penghormatan.
“Keren! Profesional! Tapi nyantai.” Begitu komentar anak keduaku tentang lelaki pelayan itu. Anakku itu baru duduk di kelas 9 madrasah tsanawiyah. Setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kala dialog antara kakaknya dengan pelayan lelaki itu berlangsung, dia duduk tepat di depan kakaknya. Dia tahu persis bagaimana pelayan lelaki itu melayani konsumen. Ya, dalam hal ini kakaknya. Dia juga menjadi saksi bagaimana pelayan lelaki itu menjaga betul kesantunan berbahasa kepada siapapun di sekitarnya. Termasuk kepada konsumen. Yang sering dilukiskan sebagai raja. Anakku kedua itu laki-laki. Dan, dia bisa menangkap kesantunan pelayanan yang diberikan pelayan lelaki itu. Jika laki-laki menjadi sebuah faktor dari penilaian, maka penilaian anak lelakiku kepada kesantunan pelayan lelaki itu terkonfirmasi dengan baik.
Tiga kata (“keren”, “profesional” dan “nyantai”) yang diucapkan anak keduaku sebagai respon terhadap kualitas layanan pelayan lelaki di atas sejatinya menandai prinsip service excellence. Layanan prima. Prinsip layanan ini bukan sekadar menunjuk ke kualitas layanan kelas tinggi. Atau luxury-level service. Kelas mewah. Bukan terbatas itu. Konsep layanan dimaksud sudah menyentuh pada kemampuan pemberi layanan dalam memenuhi harapan konsumen. Bahkan, dalam derajat tertentu, layanan prima ini sudah melampaui ekspektasi konsumen. Bukan pada materi layanan besar saja. Bahkan termasuk kepada yang kecil-kecil. Kualitas layanan tetap terjaga baik. Tawaran untuk membukakan karet plastik krupuk serta suara berbicara yang santun adalah hal-hal kecil layanan berkualitas yang sedang dipertontonkan pelayan lelaki itu.
Anak keduaku memang baru berusia 14 tahun. Tapi kesan baiknya terhadap kualitas layanan pelayan lelaki di atas bisa menjadi bukti kepuasan konsumen. Kata “keren” dan “profesional” dalam ungkapan anakku itu, sebaga contoh, menunjuk kepada profesionalisme yang telah dijunjung tinggi dalam praktik pemberian layanan oleh pelayan lelaki itu. Kepada seluruh pengunjungnya tanpa pandang bulu. Adapun kata “nyantai” diucapkan oleh remaja jagoanku itu dengan segala kapasitas yang dimiliki untuk anak seusianya. Bagi anak remaja, kata “nyantai” itu menunjuk kepada dilakukannya tugas pekerjaan dengan hati. Penuh penghayatan. Sarat kesopanan. Dan, kaya dengan nilai pelayanan sejati. Bahwa konsumen adalah raja diterapkan betul sebagai prinsip. Jangankan membuat konsumen menyesal, menyebabkan kesal saja dihindarkan.
Belajar dari pelayan lelaki di atas, pesan penting perlu ditarik: Jangan sepelekan layanan. Sekalipun atas hal yang kecil di hadapan. Karena layanan akan berhubungan langsung dengan marwah lembaga. Melalui mekanisme produksi kepuasan. Saat atas kepuasan konsumen pun bilang amin, marwah lembaga ikut terjamin. Saat bilang ogah, terkoreksi pula nama baik lembaga. Itu semua mengikuti prinsip berikut ini: Layanan prima akan berhadapan langsung dengan kekuatan getok tular. Ya, berkaitan langsung dengan dahsyatnya keampuhan tutur tinular. Prinsip ini berlaku dalam rangkaian promosi lembaga. Untuk produk layanan apapun yang ada. Terjadi bahkan lintas gugus masyarakat di sini dan di sana. Bahkan lintas negara.
Getok tular dan tutur tinular memang istilah lokal Jawa. Tapi sebagai sebuah nilai sosial, mekanisme interaksi antara individu dan bahkan lembaga itu melintasi batas etnis. Dan bahkan peradaban yang berbeda. Buktinya, dalam dunia marketing global, kekuatan getok tular atau keampuhan tutur tinular di atas dikenal juga. Hanya istilahnya tak sama. Karena bahasanya juga tak serupa. Dalam Bahasa Inggris, sebagai misal, dikenal istilah word-of-mouth marketing. Atau terjemahan lokal kita, “pemasaran model getok tular”. Atau, “pemasaran model tutur tinular”. Konsumen yang puas akan segera membagikan cerita puasnya kepada orang-orang terdekatnya. Begitu pula sebaliknya jika mereka tidak puas.
Sebuah kajian membuktikan kekuatan argumen di atas. Sebanyak 72 persen konsumen berkecenderungan membagikan pengalaman baiknya atas sebuah produk layanan kepada sebanyak lebih dari lima orang. Bahkan, dengan jumlah yang sedikit lebih banyak, sebanyak 74 persen konsumen meyakini kekuatan getok tular atau tutur tinular di atas sebagai pemengaruh utama dalam proses internal konsumen saat menjatuhkan pilihan ya atau tidak untuk mengkonsumsi produk layanan (lihat URL: https://hospitalityinsights.ehl.edu/what-is-service-excellence).
Bahkan, hasil kajian Pew Research Center (15 Agustus 2017) menyebut bahwa kedahsyatan word-of-mouth marketing jauh meninggalkan pengaruh media sosial. Seperti terlihat pada grafik di bawah, Word-of-mouth marketing memiliki pengaruh hingga 72 persen, sedangkan media sosial hanya 15 persen. Penelitian Pew Research Center tersebut memang dilakukan kepada konsumen di Amerika Serikat. Ya, kepada gugus masyarakat dengan literasi digital yang jauh lebih baik dari kita di Indonesia. Model sosialisasi mereka pun juga cenderung individualistis dibanding kita yang komunal. Namun, hasil penelitian tersebut menyadarkan kepada kita semua bahwa di negeri Paman Sam itu, word-of-mouth adalah cara paling lazim bagi warga masyarakat dalam memperoleh informasi dan berita. Mekanismenya melalui getok tular atau tutur tinular dari teman dan kerabat.
Karena itu, jangan pernah sepelekan proses pemberian layanan kepada konsumen. Jangan anggap enteng setiap layanan kepada mereka. Apapun jenis dan ukurannya. Berikan yang terbaik pada setiap layanan. Kekuatan getok tular atau tutur tinular penting dijadikan pertimbangan utama. Yang digetoktularkan oleh konsumen kepada teman dan keluarganya adalah sebuah testimoni. Karena dipandang testimoni, maka semua yang diceritakan oleh konsumen kepada lingkungan terdekatnya akan segera dianggap oleh selainnya, termasuk calon konsumen, sebagai sebuah kebenaran.
Harus diakui, kepuasan adalah soal subyektivitas. Karena itu, semua layanan harus mempertimbangkan kesan baik yang harus ditanamkan kepada konsumen. Sebab, kepuasan itu soal rasa. Di situ ada kesan. Ada persepsi. Ada hati yang harus disentuh. Dan juga ada perasaan yang harus ditimbang. Karena itu, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kepuasan itu sangat subyektif. Maka, tumbuhkan kesan baik. Bangun perasaan nyaman. Hindarkan rasa kecewa. Apalagi marah. Dari sebanyak-banyaknya konsumen. Akhirnya, berikan pelayanan terbaik. Agar subyektif saat bertemu dengan subyektif lainnya akan mempertebal obyektivitas di balik subyektivitas yang ada.
Itulah konsep layanan sepenuh hati. Bentuknya, melayani dengan cinta. Melayani dengan hati. Melayani dengan menimbang rasa. Bukan sekadar SOP yang diikuti. Bukan semata mekanisme yang dituruti. Tapi ada hati yang harus disentuh. Ada perasaan yang harus dihiraukan. Ada batin yang harus ditimang. Dan ada jiwa yang harus disikapi. Semua layanan harus dilakukan dengan sepenuh kesungguhan hingga menyentuh hati konsumen. Untuk sebuah kepuasan yang tak terlupakan. Jika itu yang berkembang, maka kekuatan word-of-mouth marketing akan bisa dirasakan.
Konsep melayani dengan hati ini tidak saja perlu dicontohkan oleh pucuk pimpinan. Pada nama dan jenis lembaga, organisasi, atau birokrasi apapun. Tapi juga penting dilihat, dirasakan dan dipraktikkan oleh semua pegawai ujung layanan. Pemberi layanan langsung di lapangan. Mereka biasanya berhadap langsung dengan konsumen. Persis seperti pelayan lelaki dalam cerita di atas. Mereka yang menentukan jalan cerita layanan langsung ke konsumen. Merekalah yang bertugas untuk memberikan layanan terakhir kepada konsumen. Baik-buruknya sebuah lembaga, organisasi, atau birokrasi sangat ditentukan oleh mereka. Karena itulah mereka juga disebut dengan istilah frontliners. Maka, menjaga layanan prima adalah kewajiban semua.
*) Prof Akh Muzakki MAg, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D, adalah Sekretaris PWNU Jatim sekaligus Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Opini di atas diambil dari laman resmi UIN Sunan Ampel Surabaya.