• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Pustaka

Makna dan Hakikat Bekerja dalam Mencari Rezeki

Makna dan Hakikat Bekerja dalam Mencari Rezeki
Sampul buku 'Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?' (Foto: Istimewa)
Sampul buku 'Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?' (Foto: Istimewa)

Ada tiga teka-teki kehidupan yang Allah sembunyikan dari hambanya, yakni rezeki, jodoh dan maut atau kematian. Ketiganya adalah hal yang tidak akan pernah diketahui  manusia. Akan berjodoh dengan siapa, dimana dan kapan, Allah yang mengatur. Pun dengan kematian, dimana dan kapan hanya Alah yang mengetahui. Semuanya sudah Allah tentukan di alam azal. Apalagi masalah rezeki, semua telah Allah tentukan takarannya. Tergantung bagaimana manusia meminta, mencari dan berusaha memperolehnya.


Dalam menjalani hidup, setiap manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta. Dan seringkali kekayaan dijadikan sebagai patokan dari sebuah rezeki. Harta melimpah, mobil mewah dan rumah megah adalah sederet kekayaan yang seringkali dijadikan definisi dari rezeki. Faktanya, hidup bahagia, sehat dan tenang adalah rezeki yang tiada tara, sesuatu yang tidak dapat ditukar apalagi dibeli.


Hidup di muka bumi yang penuh dengan berbagai kebutuhan menuntut manusia untuk bekerja. Bukankah Tuhan maha memberi, mengapa kita harus bekerja? Pemberian Tuhan sudah lebih dari sekadar cukup, hanya saja manusia terlalu banyak ke-ingin-annya untuk memenuhi nafsunya.


Salah satu ulama menyebutkan bahwa rezeki terbaik bukanlah rezeki harta, tetapi ketenangan jiwa, akal yang cerah, tubuh yang sehat, hati yang bersih, pikiran yang jernih, doa seorang Ibu, kasih sayang Ayah, keberadan saudara, gelak tawa anak, perhatian sahabat, dan doa sang kekasih kepada Allah.  


Dewasa ini, terjadi pemetaan antara fiqh dengan tasawuf. Perbedaan kajian fiqh (dzahir) dan tasawuf (batin) membuat dua cabang ilmu ini memilih jalannya sendiri. Imam al-Muhasibi ulama yang notabane-nya ulama tasawuf, berhasil menjembatani keduanya dengan menulis kitab Al-Mukasib.


Kitab tersebut membahas urusan duniawi (mencari rezeki) namun dibumbui ukhrawi. Tak heran bila di sepanjang buku ini tidak hanya membahas masalah fiqih semata, akan tetapi juga diselipi nilai-nilai tasawuf. Misal, ketika ia membahas masalah wara’ dan ajaran ulama salaf mengenai barang syubhat.


Imam al-Muhasibi mendedah kiat-kiat untuk mendapat rezeki halal dan hidup berkah, serta alasan syariat mengapa manusia harus mencari rezeki, motivasi untuk bekerja yang bernilai ibadah. Jika Allah sudah memastikan keutamaan bagi seseorang yang bekerja, dan Nabi memberi tuntunan bahwa bekerja bisa mendekatkan hati kepada Allah dan dapat menambah nilai ibadah.(hal. 70-71)


Buku ini tidak hanya membahas anjuran mengais rezeki, akan tetapi juga mengemukakan pendapat ulama yang tidak setuju dengan bekerja dalam rangka mencari rezeki sekaligus beberapa alasannya. Salah satu argumennya bahwa Tuhan Maha Pemberi Rezeki (Ar-Rozzaq), namun jika manusia bekerja, seolah-olah mereka tidak yakin dengan jaminan Tuhan.


Jika bekerja adalah dalam rangka memantapkan diri kepada sang pemberi rizki, maka upah yang ia terima adalah nilai lebih. Bahkan, orang tersebut terhindar dari bosan dan jemu. Sebab, yang mereka inginkan adalah pahala, bukan uang semata.


“Siapa yang mencari kehidupan dunia dengan cara yang halal dan niat untuk menjaga kehormatannya dari meminta-minta, menafkahi keluarganya, dan menyantuni tetangganya yang kekurangan, kelak di hari kiamat wajahnya bagai bulan pernama. Sebaliknya, siapa yang mencari dunia dengan cara yang halal, namun dengan niat mengumpulkan kekayaan, kelak ia akan bertemu dengan Allah dengan kondisi yang dibenci oleh-Nya.” (HR. al-Nasa’i. (hal. 74)


Allah memberi rezeki sesuai kehendak-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa saja tanpa disangka-sangka. Mintalah rezeki itu dari sisi Allah (Al-Ankabut: 17). Sementara manusia mempunyai keharusan untuk beramal. Diwajibkan untuk berusaha dan berikhtiar melangsungkan kondisi-konidsi yang di dalamnya rezeki bisa datang. Allah tidak menanyakan datang atau tidaknya rezeki, yang ditanya adalah usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki. Karenanya, Allah menjelaskan mana yang halal dan mana yang bukan.


Semoga hadirnya buku ini bisa mengangkat semangat seorang hamba untuk mencari rezeki yang diridhai, bisa mengubah niat hati yang semula untuk memperkaya diri menjadi mendekatkan diri kepada Ilahi, bahkan dalam rangka berbagi rezeki. Selamat membaca.

 

Identitas Buku

Judul Buku: Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?
Penulis: Imam al-Muhasibi
Penerjemah: Abdul Majid, Lc.
Penerbit: Turos Pustaka
Tahun terbit: Cet. 1, Juli, 2022
ISBN: 978-623-7327-70-7
Peresensi: Musyfiqur Rozi, mahasiswa Pascasarjana UINSA Surabaya dan alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep


Pustaka Terbaru