• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 19 Maret 2024

Nusiana

Cerita KH Yusuf Hasyim saat Berhadapan dengan Tank Belanda

Cerita KH Yusuf Hasyim saat Berhadapan dengan Tank Belanda
KH Abdurrahman Wahid, Fahmi D Zaifuddin dan KH Yusuf Hasyim. (Foto: NOJ/Lukman H Saifuddin)
KH Abdurrahman Wahid, Fahmi D Zaifuddin dan KH Yusuf Hasyim. (Foto: NOJ/Lukman H Saifuddin)

Ini cerita yang disampaikan cendekiawan muslim, Fachry Ali di akun Facebooknya, Rabu (14/04/2021) lalu.

Bahwa entah mengapa, Magrib itu dirinya teringat paman KH Abdurrahman Wahid (1940-2009), KH Yusuf Hasyim yang sering dipanggil Pak Ud (1929-2007).

 

Beberapa tahun sebelum Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang ini wafat, Pak Ud sering datang ke rumah Fachry Ali. Dan biasanya, pada malam hari. Pukul 23.00, misalnya, Pak Ud tiba-tiba sudah di pintu.

 

“Ada nasi Ry?!” tanyanya sambil bergerak ke ruang makan. Lalu, keduanya makan dengan apa yang tersisa sorenya.


Suatu kunjungan, Pak Ud membawa beberapa kliping tulisan di koran Kompas. Salah satunya tulisan Ulil Abshar Abdalla. “Nih”, katanya. “Baca kalau belum sempat baca”.


Akhir 1980-an, Fahcry sering berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Salah satunya dengan wartawan Kompas Budiarto Danudjaja dan Abdul Hamid. Yang terakhir ini adalah putra Kiai Fatah dari Siman, Lamongan.

 

Kala itu tuan rumah, Pak Ud menyediakan sop kambing Lamongan —untuk ‘dinner’ (gaya ya istilahnya?!).


Nah, dalam kesempatan ngobrol-ngobrol itulah, Pak Ud bercerita.


“Dulu”, kata Pak Ud. “Saya aktif dalam pasukan Hizbullah.”


Pak Ud memang veteran perang kemerdekaan.

"Dan dalam berperang,” lanjut Pak Ud, “Kami didoktrin para ulama: maju wajib, mundur haram,” katanya meyakinkan.


“Suatu hari,” lanjut Pak Ud, “Kami berhadapan dengan tank Belanda. Di sini kami berhadapan dengan dilema. Jika maju terus (yang hukumnya wajib), kami mati. Tapi, kami juga tidak bisa mundur. Karena hukumnya haram," kenangnya.


Fahcry Ali, Budiarto Danudjaja dan Abdul Hamid menjadi tegang mendengar cerita yang begitu dilematis itu.

 

“Lalu,” tanya Fahcry, “Apa yang Pak Ud dan kawan-kawan lakukan?”

 

Dengan senyum khasnya, Pak Ud menjawab: “Kami mengambil posisi miring,” katanya tentu dengan berbahak, yang disambut jamaah lain.

 

“Ya, dengan memiringkan badan, memang tidak ada dalam kategori wajib dan haram,” tutup Fachry Ali.

 

Kepada Pak Ud, alfatihah.

 


Editor:

Nusiana Terbaru