• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Tokoh

Gus Dur: Satu Rumah Seribu Pintu

Gus Dur: Satu Rumah Seribu Pintu
Gus Dur: Satu Rumah Seribu Pintu.
Gus Dur: Satu Rumah Seribu Pintu.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, bagi saya, adalah sebuah rumah dengan seribu pintu. Tergantung darimana dan bagaimana kita masuk. Kalau "memasuki" pemahaman tentang Gus Dur melalui pemahaman Bapak Riziq Shihab dan Papa Hartono Ahmad Jaiz, jelas Gus Dur sesat menyesatkan. Buta mata, buta hati. Kalau "memasuki" pemahaman tentang Gus Dur melalui pemahaman kelompok JIL, Gus Dur tampak sembrono dalam beragama. Lalu bagaimana saya masuk, melalui pintu pemahaman siapa? Pakde dan bapak saya (allahummarhamhuma). Sesederhana itu.


Pakde saya, KH Nurul Huda Syafawi, mulai memperkenalkan saya dengan sosok Gus Dur melalui foto jajaran pengurus PBNU hasil 1994 di kalender NU. Saat itu di kalender dengan format sederhana ala kalender Menara Kudus, Gus Dur tampak tambun dengan baju batik yang kekecilan, kopiah hitam yang menyesaki kepalanya, serta kacamata tebalnya. Saya tanya, "Kenapa kok kacamatanya Gus Dur aneh begitu?"


"Itu karena kebanyakan baca buku. Gus Dur adalah cucu Kiai M Hasyim Asy'ari dan cucu guruku, Kiai Bisri Syansuri. Gus Dur seorang pembelajar yang baik dan rendah hati." 


Ini adalah penjelasan ringkas Pakde saya yang mulai merembesi alam bawah sadar. Gus Dur kemudian mulai merajah ingatan saya dengan penampilannya yang unik dan sangat sederhana dalam berbagai edisi Majalah AULA dan Tabloid Warta.

***

Saya harus mencuci kaki, lalu melepas sandal terlebih dulu, kemudian duduk menundukkan kepala, bersila di depan pintu Gus Dur. Lanjut dengan membuka karyanya yang paling enak dibaca dan perlu, "Kiai Nyentrik Membela Pemerintah" (Yogyakarta: LKiS, 2000). Ini buku tipis berisi esai ringan Gus Dur mengenai para ulama. Total ada 26 esai yang membahas para ulama yang berkesan dan bernilai lebih di mata Gus Dur: Kiai Muchit Muzadi, Kiai Wahab Sulang Rembang, Kiai Adlan Ali Jombang, Kiai Sahal Mahfudz, Muallim Abdullah Syafii, hingga Gus Miek. 


Tak lupa fenomena ulama ibukota dan bagaimana mereka harus melakukan penyesuaian dakwah di antara kultur hedonisme Jakarta (dalam kumpulan kolom ''Melawan Melalui Lelucon'', Gus Dur menulis kolom berjudul “Kwitang, Kwitang” yang berangkat dari fenomena teriakan sopir angkot yang menawarkan rute ke Kwitang, sentral pengajian di Jakarta sejak era Habib Ali al-Habsyi, yang juga guru KH A Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur).


Melalui berbagai ulasan yang disajikan dengan enak dan sedikit anekdotis, Gus Dur menunjukkan puluhan sumur hikmah yang tak pernah kering ditimba. Sumur kearifan Nusantara yang menjadi sumber inspirasi bagi siapa pun yang mau datang dengan kerendahan hati. Bagi saya, ini adalah sebuah fenomena unik, di mana pada saat berbagai tulisan mengenai ulama ini dibuat, era 1980-an hingga awal 1990-an, saat itu Gus Dur juga berkutat dengan teori-teori Barat melalui berbagai artikelnya di Prisma.


Jika dicermati, Gus Dur memposisikan diri sebagai seorang santri yang mengulas berbagai perilaku, pemikiran, dan tindakan mereka yang dianggap sebagai guru. Saat menulis sosok Kiai Sahal Mahfudz, melalui "Kiai Pencari Mutiara", Gus Dur mengawalinya dengan anekdotis lalu mengakhirinya dengan sebuah kesimpulan singkat atas jalan fiqh (sosial) Kiai Sahal, sekaligus menyampaikan kekagumannya kepada KH Abdullah Salam, pamanda Kiai Sahal. 


Ada pula Kiai Iskandar, bersekolah di lembaga Muhammadiyah, lalu mondok di Lirboyo, dan sepulang dari mondok dia harus mengemong dua kubu di desanya, kelompok santri dan abangan, lalu dengan "tanpa sengaja" Kiai Iskandar membuat sebuah terobosan yang membuat kaum abangan sangat menghormatinya. 


Tak lupa, ada rasionalisasi Kiai Hasbullah Salim, kiai asli Sedan-Rembang yang kemudian tinggal di Denanyar, Jombang dan berpindah ke Desa Rejosari, yang berdampingan dengan Desa Gadingmangu, basis Darul Hadits (LDII), anak buah Ubaidah. Kiai Hasbullah yang keras harus menghadapi perdebatan furuiyah melawan dai Darul Hadits. Kiai Hasbullah yang dinyatakan "menang" oleh masyarakat kemudian membuat sebuah traktat khusus dengan lawannya: pengikut Ubaidah tidak diapa-apakan, asal mereka tidak tabligh di desa lain dan sekitarnya, serta tidak membeli tanah di Desa Rejosari.


Bagi Gus Dur, Kiai Hasbullah yang lugas bersikap menyimpan kearifannya tersendiri. Pertentangan pendapat tidak semuanya (bisa) diselesaikan, dan lebih-lebih tidak akan terselesaikan dengan melarang begini atau begitu. Adakalanya toleransi lebih memberikan hasil, sebagai upaya menahan perluasan pengaruh lawan, demikian ditulis Gus Dur dalam "Kiai Hasbullah dan Musuhnya". Apakah Gus Dur juga mengadopsi kearifan Kiai Hasbullah dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan aliran "sesat", sebagaimana yang beliau tulis menyikapi pilihan Kiai Hasbullah saat berhadapan dengan kubu lawannya? Wallahu a'lam.


Dalam "Tokoh Kiai Syukri", Gus Dur mengisahkan sosok Kiai Syukri, asal wilayah selatan Jawa Tengah, yang dihormati kalangan NU dan Muhammadiyah karena sikapnya yang santai dan tenang dalam melihat akar persoalan. Gus Dur menyebut Kiai Syukri sering mencari apa yang terbaik untuk manusia dengan jalan yang manusiawi pula.


Tak lupa, dengan kekagumannya, Gus Dur menulis sosok Kiai Mas'ud, dari Kawunganten, Purwokerto, yang gigih melacak naskah-naskah karya ulama Nusantara yang masih berbentuk makhtutat atau manuskrip. Kiai Mas'ud memburu karangan Kiai Ihsan Jampes, Manahijul Imdad, ke berbagai daerah hingga akhirnya menemukan naskah ini di tangan santri Kiai Ihsan Jampes, yang tinggal di Pecangakan Bojonegoro. 


"Kegilaan yang mengesankan: perburuan yang mengagumkan dari seorang kiai yang amat dalam pengetahuan agamanya, tetapi tenggelam dalam keasyikan yang tidak disadarinya memiliki arti penting bagi pengetahuan keislaman di negeri ini," tulis Gus Dur dalam "Syekh Mas'ud Memburu Kitab".


Berbagai kisah mengagumkan seputar orang-orang dari pesantren ini mengingatkan kita pada "Guruku Orang-Orang dari Pesantren", sebuah memoar dari KH Saifuddin Zuhri. Hanya Gus Dur menulisnya sepenggal-penggal dalam sebuah kolom yang, uniknya dimuat di Majalah Tempo dan Harian Kompas, sepasang  corong sekularisme, bagi sebagian orang. Gus Dur memperlakukan tokoh-tokoh dalam kumpulan kisah singkat ini dengan hangat dan hormat, sehangat para novelis memperlakukan tokoh-tokohnya. Lagi pula, karena ditulis oleh orang yang sejak kecil dididik dalam kultur pesantren, tak bakal kita menemukan distorsi di dalamnya, meskipun di sisi lain kita juga menemukan pandangan kritis Gus Dur atas setiap sosok yang dia bahas.


Sebagai seorang tokoh, Gus Dur memang beberapa kali mengeluarkan statemen kontroversial via lisan--apalagi jika wartawan memelintir statemennya, tambah runyam-- tapi sejauh yang saya pahami nyaris tidak ditemui statemen kontroversial di berbagai tulisan Gus Dur, kecuali memang sejak awal kita mencari-cari kesalahannya. 
 


Sebagai seorang cendekiawan, Gus Dur tampil bijak melalui kalimat-kalimatnya yang jernih dan lugas. Belum pernah saya menemukan tulisan Gus Dur yang mengobral laknat, caci maki, hingga pengkafiran mereka yang berbeda dengannya. Dalam menyanggah pendapat orang lain pun, melalui tulisan, Gus Dur lebih elegan dan dewasa. 


Ini di antara salah satu alasan saya menghormati dan mencintai Gus Dur. 


Lahul Fatihah...


Tokoh Terbaru