• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Tokoh

Menilik Ijtihad Politik KH Thohir Widjaya

Menilik Ijtihad Politik KH Thohir Widjaya
KH Thohir Widjaya. (Foto: NOJ/ ISt)
KH Thohir Widjaya. (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Asmawi Mahfudz *)

 

KH Thohir Widjaya merupakan sosok kiai kelahiran Blitar tahun 1927. Ia merupakan alumni sejumlah pondok pesantren besar di Jawa Timur, mulai dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Rejoso Peterongan Jombang, hingga Pondok Tremas Pacitan. Kiai Thohir Widjaya adalah sekian dari tokoh pesantren yang ‘berani’ masuk ke dalam dunia politik.

 

Sepak terjangnya di bidang dakwah Islam melalui jalur politik turut membesarkan namanya di saat pemerintahan orde baru. Hal ini dimulai dimulai pada tahun 1946 dengan masuk partai Politik Majlis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi, sebuah partai politik Islam era demokrasi liberal di Indonesia. Ia berhasil menjadi wakil Masyumi di Dewan Perwakilan Daerah Blitar selama 3 tahun sampai 1949.

 

Setelah itu nampaknya Kiai Thohir merasa kemampuannya dalam berorganisasi belum begitu baik, akhirnya Kiai Thohir mengambil kursus manajemen organisasi di Yogyakarta pada tahun 1949, sambil dakwah dan mengajar di IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga. Baru pada tahun 1960-an ia masuk politik lagi lewat Partai Golongan Karya (Golkar), saat kekuasaan orde baru sangat kuat, dan secara politik umat Islam lebih banyak bergabung kepada partai Nahdlatul Ulama atau Masyumi.

 

Ijtihad politik Kiai Thohir saat itu disebut berani karena sikap politiknya berlawanan dengan arus mainstream umat Islam. Pada saat mayoritas muslim berafiliasi dengan partai-partai Islam, Kiai Thohir justru masuk Golkar, yang notabene adalah partai penguasa. Masuknya Kiai Thohir ke Golkar dipastikan mendapatkan resistensi dari berbagai kalangan saat itu, bahkan keluarganya sendiri di Pondok Pesantren Kunir Blitar.

 

Dari cerita keluarga setiap ada pawai kampanye lewat depan rumahnya, Kiai Thohir sering diteriaki, dihina, atau dilempari batu. Tetapi tantangan itu tidak menyurutkan sikap politik dari Kiai Thohir untuk memperjuangkan ajaran agama lewat jalur politik Partai Golangan Karya.

 

Hasil dari ijtihad politiknya mulai nampak di antaranya ia berhasil menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tahun 1977. Akhirnya kiprah politik Kiai Thohir menjadi lebih luas, tidak hanya bersifat lokal Kabupaten Blitar, tetapi telah merembet di kancah nasional.

 

Dan, ketika seseorang telah memasuki politik pada level tertinggi, pada puncak kekuasaan, maka kemanfaatan kebijakan yang dihasilkan juga lebih besar, lebih mudah, terbukanya jaringan, terutama kepentingan yang kembali kepada umat Islam.

 

Kiai Thohir kemudian menjadi Ketua Umum Majlis Dakwah Islam (MDI) pada tahun 1978. Sebuah organisasi yang mempunyai tugas mengurusi program-program keagamaan yang didirikan oleh Golkar. Pada saat itu kharisma dan kewibawaan Kiai Thohir mulai nampak, kiprahnya juga meluas, politik kebangsaannya mewarnai dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintahan orde baru yang kuat, terutama berhubungan dengan bidang sosial dan keagamaan.

 

Dalam konteks lokalitas Kunir Wonodadi Blitar saat itu adalah daerah di pinggiran Sungai Brantas, jauh dari pusat kekuasaan. Mata pencaharian mayoritas adalah petani tradisional, sikap keagamaan juga masih sederhana, seakan gerakan politik sosial agama yang dilakukan oleh Kiai Thohir menjadikan daerah itu tercerahkan dan mendapat pembaruan dalam bidang sosial dan agama Islam. Misalnya pada tahun 1979 Kiai Thohir menjadi motor gerakan listrik masuk desa, yang sebelumnya belum ada penerangan desa. Termasuk pula bisa disatukannya shalat hari raya ied, yang sebelumnya terpisah-pisah dalam berbagai kelompok keagamaan.

 

Selain itu, juga berdirinya berbagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren, majelis ta’lim, koperasi, panti asuhan, gerakan menjadi guru negeri yang dilakukan oleh para santri, semua atas peran dan kontribusi Kiai Thohir. Maka di internal Kunir ataupun Blitar dan sekitarnya, nama Kiai Thohir menjadi identik, atas jasa-jasa yang selalu dikenang oleh masyarakat dan santri.

 

Selanjutnya, tahun 1980-an sering dilihat kegiatan Kiai Thohir memberikan ceramah di TVRI, menjadi imam shalat di keluarga presiden di Cendana, yang ini tidak semua tokoh bisa masuk ke dalam jaringan politik keluarga Presiden RI kala itu. Juga berinisiasi mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila bersama bapak H Muhammad Soeharto dan Ibu Tien. Dari Yayasan ini berhasil dibangun masjid di seluruh Indonesia, hampir di setiap kabupaten/kota dengan model bangunan sama, interiornya sama, namanya sama, yang menggabungkan sisi keislaman dan keindonesiaan. Masjid tersebut sampai saat ini masih berdiri kokoh, bermanfaat untuk ibadah umat Islam.

 

Di samping itu, bersama anggota komisi DPR RI dan kiai-Kiai lain menghasilkan Undang-Undang Zakat, Peraturan Presiden tentang berlakunya Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebuah aturan yang dijadikan rujukan bagi Kantor Urusan Agama, Hakim di Peradilan dalam menyelesaikan urusan pernikahan dan hukum perdata umat Islam, aturan-aturan yang memberlakukan ekonomi syariah di Indonesia.  Pada saat yang sama aktifitas gerakan dakwah politik Kiai Thohir juga terlihat dalam organisasi-organisasi sosial keagamaan. Misalnya dalam organisasi jamaah yang berhubungan dengan thariqah, yang sekarang disebut dengan Jatman, yakni Jamaah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah Al-Nahdliyah.

 

Dengan kesibukannya yang luar biasa, tetapi sisi keulamaannya semakin kuat ketika Kiai Thohir rajin untuk silaturahim kepada kiai-Kiai yang lain di berbagai daerah. Misalnya ke kediaman KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan Lirboyo, KH Zubaidi Abdul Ghafur Mantenan Blitar, KH Tarmudhi Takeran Magetan, KH Mustain Romli Rejoso Jombang, dan kiai-kiai seangkatan menjadi santri di berbagai pesantren.

 

Keberhasilan ijtihad politik Kiai Thohir bermanfaat tidak hanya dilakukan dalam aktifitas politik pemerintahan, tetapi juga dalam bidang keagamaan. Pemikiran visionernya tentang pendidikan Islam juga ditemukan sekarang di berbagai lembaga yang masih eksis. Di antaranya pengembangan lembaga pendidikan pesantren di Blitar, Jawa Timur yang semula hanya masjid sederhana, tetapi berkat ketokohan Kiai Tohir akhirnya menjadi sebuah lembaga pesantren yang inklusif, yang di dalamnya menjalankan kegiatan madrasah diniyah, sekolah formal, koperasi pesantren, panti asuhan, majelis ta’lim dan sebagainya. Dalam perkembangannya, lembaga ini diberi nama Pesantren Al-Kamal, yang pada zaman Kiai Thohir masih hidup menjadi rujukan tokoh-tokoh politik nasional dalam menjalankan program-program pembangunan. Sehingga para pejabat negara sering melakukan kunjungan di pesantren ini. Tidak hanya di Blitar saja, ia juga bersama pejabat dan politisi lain juga mendirikan Pondok Pesantren al-Kamal di Jakarta, yang menjalankan program rumah sakit, pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi yang terpadu dengan pondok pesantren.

 

Dari semua gerakan tranformasi yang dilakukan oleh Kiai Thohir itu semua bermula dengan “keberanian ijtihad politik” yang tidak populis, tetapi dapat dirasakan kemanfaatannya oleh umat 10 sampai 20 tahun setelah ia meninggal dunia. Masyarakat pun menyadari betapa sikap politik Kiai Thohir Widjaya, ulama yang kuat baik dari sisi keilmuan, kebatinan ataupun karakternya, sehingga dapat memberikan kemaslahatn umat secara luas.  Wallahu a’lam.

 

*) Asmawi Mahfudz, Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, fungsionaris NU Blitar, dan Khadim Pondok Pesantren Al-Kamal Blitar.


Tokoh Terbaru