• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Memahami dan Memetik Hikmah dari Sejarah Kurban

Memahami dan Memetik Hikmah dari Sejarah Kurban
Kisah Qabil dan Habil menjadi awal sejarah kurban. (Foto: NOJ/GHi)
Kisah Qabil dan Habil menjadi awal sejarah kurban. (Foto: NOJ/GHi)

Penyembelihan hewan kurban yang menjadi bagian dari ibadah di bulan Dzulhijjah memiliki sejarah panjang. Dari peristiwa yang ada tersebut menjadikan kurban menjadi ibadah yang ajeg dilaksanakan umat Islam saat ini. Dan tidak semata menyembelih hewan sesuai ketentuan fiqih, banyak hikmah yang bisa dipetik dari kejadian tersebut. 

 

Qabil dan Habil disuruh untuk berkurban. Qabil yang seorang petani berkurban dengan hasil kebun miliknya. Sementara Habil yang hidup sebagai peternak berkurban dengan seekor kambing terbaik yang ia miliki. Jika kurban Habil diterima Allah SWT, tidak demikian dengan Qabil. Qabil pun merasa hasud pada Habil dan memukul kepalanya dengan batu besar sampai tak bernyawa. 

 

Kisah Qabil dan Habil ini diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:


 وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانٗا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ   

 

Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): Aku pasti membunuhmu!. Berkata Habil: Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Ma’idah [5]: 27) 

 

Berkaitan ayat di atas, Imam al-Qurtubi (w. 1273 M) dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (juz 7, halaman: 409) menjelaskan, bahwa setiap Siti Hawa melahirkan, maka yang keluar adalah dua bayi, satu perempuan dan satunya laki-laki. Kedua bayi itu bisa kita sebut sebagai ‘saudara satu kandungan’. Memang pernah satu kali Hawa melahirkan anak tunggal (bukan berpasangan), yaitu saat melahirkan Nabi Syits, yang lahir menggantikan Habil karena dibunuh saudaranya sendiri, Qabil. 

 

Qabil lahir bersama dengan saudari satu kandung yang bernama Iqlima. Konon, Iqlima terlahir sebagai perempuan yang cantik berseri. Sementara Habil lahir dengan saudari kandungan yang bernama Labuda. Paras Labuda tidak secantik Iqlima. Sesuai dengan aturan yang berlaku, maka Qabil harus menikah dengan Labuda. Sementara Habil menikahi Iqlima. Aturannya tidak boleh menikahi saudara satu kandungnya. 

 

Melihat ketentuan demikian, Qabil tidak terima. Ia hanya mau menikahi saudari satu kandungnya, Iqlima, yang memiliki paras cantik berseri. Mengungkapkan rasa tidak terimanya, Qabil berkata:


 أَنَا أَحَقُّ بِهَا، وَهُوَ أَحَقُّ بِأُخْتِهِ، وَلَيْسَ هَذَا مِنَ اللَّه تَعَالَى، وَإِنَّمَا هُوَ رَأْيُكَ! 

 

Artinya: Saya lebih berhak untuk Iqlima. Dan Habil pun lebih berhak dengan saudari perempuan sekandungnya. Ketentuan ini sebenarnya bukan dari Allah, melainkan hanya akal-akalanmu (Adam) saja! (lihat al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, halaman: 204) 

 


Singkat cerita, Nabi Adam AS memerintahkan kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk berkurban. Maka, barangsiapa yang kurbannya diterima oleh Allah SWT, ia lah yang lebih berhak. 

 

Dalam Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) menjelaskan, jika kurban mereka diterima, maka persembahan kurbannya akan disambar oleh api yang turun dari langit sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir. (lihat al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, halaman: 205) 

 

Qabil yang berprofesi sebagai petani, mempersembahkan kurbannya berupa hasil bumi miliknya. Hanya saja, hasil bumi yang dikeluarkannya begitu buruk. Sementara Habil yang berprofesi sebagai peternak, mempersembahkan kurbannya dengan seekor kambing. Jika Qabil berkurban dengan hasil tanaman yang buruk, lain dengan Habil yang berkurban dengan seekor kambing pilihan terbaik miliknya. 

 

Dari persembahan yang dikeluarkan masing-masing Qabil dan Habil, kita bisa menilai, mana yang benar-benar ikhlas, dan mana yang tidak. Tentu, Habillah yang tampak ikhlas karena berkurban dengan kambing pilihan terbaik miliknya. Bukan Qabil yang dengan tanaman buruk hasil panennya. Ini juga mengindikasikan bahwa Qabil bukanlah seorang yang bertakwa dan taat kepada Allah SWT.  Benar saja, api turun dari langit dan menyambar kambing milik Habil. Sementara tanaman persembahan milik Qabil tidak. Artinya, kurban Habil diterima, sedangkan Qabil tidak. 

 

Menyadari hal ini, Qabil pun tidak terima dan merasa iri dengan Habil. Dengan emosi, Qabil mengambil batu besar dan memukulkannya ke kepala Habil sampai meninggal. 

 

Syekh Fakhruddin al-Razi menjelaskan: 


قَبِلَ اللَّه تَعَالَى قُرْبَانَ هَابِيلَ بِأَنْ أَنْزَلَ اللَّه تَعَالَى عَلَى قُرْبَانِهِ نَارًا، فَقَتَلَهُ قَابِيلُ حَسَدًا لَهُ. 

 

Artinya: Allah Taala menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban milik Habil. Kemudian Qabil membunuhnya karena merasa dengki. (lihat al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, halaman: 204) 

 

Hikmah dan Perenungan 
Pertama, ayat ini memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Maidah [5]: 26) yang menjelaskan tentang Bani Israil (Yahudi) yang membangkang kepada Nabi Musa. Hikmahnya adalah pembahasan QS. QS. Al-Maidah (5): 27 memberitahu kita bahwa karakter Bani Israil adalah zalim sebagaimana kezaliman Qabil terhadap saudaranya, Habil.  

 

Ini juga sekaligus dalam rangka menenangkan Nabi Muhammad SAW, bahwa orang Yahudi yang kejam terhadapnya, juga sama seperti Yahudi sejak dulu yang membunuh nabi-nabinya, sebagaimana kejamnya Qabil membunuh Habil. Artinya, bukan Nabi Muhammad saja yang ditindas oleh Yahudi, nabi-nabi sebelumnya pun demikian, bahkan sampai dibunuh. (llihat al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz, 7, halaman: 408) 

 

Kedua, ayat ini juga berkaitan dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Maidah [5]: 18), dengan penegasan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku sebagai keturunan nabi-nabi, nasab itu tidak ada manfaatnya jika tidak taat kepada Allah SWT, sebagaimana Qabil yang merupakan anak Nabi Adam. Meskipun Qabil anak seorang nabi, tapi nasabnya tidak ada nilainya karena kezaliman yang diperbuatnya. (lihat al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, halaman: 203) 

 

Pesan moral poin kedua ini menegaskan, bahwa nasab bukanlah penentu keberhasilan seseorang. Semua kembali pada pribadi masing-masing. Dalam kisah lain, kita juga tahu seorang anak yang bernama Kan’an tidak mau beriman kepada Allah. Padahal ia adalah anak Nabi Nuh AS. Akhirnya, Kan’an diazab oleh Allah bersama umat-umat Nabi Nuh yang durhaka lainnya. 

 

Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.


Editor:

Opini Terbaru